Senin, 19 September 2011

PEMBANTAIAN IMAM 12 SETELAH KEPERGIAN RASULULLOH...


SETELAH RASULULLOH MENINGGAL... 
TERJADI PEMBANTAIAN IMAM 12 …. 
SIAPA YANG MENYELAMATKAN ALQUR'AN?




Iman Kepada Kitab-Kitab Allah S.W.T

Kitab-kitab Allah diturunkan kepada para Nabi untuk kemudian disebarkan kepada seluruh manusia.Kitab berasal dari Bahasa Arab yang artinya sesuatu yang ditulis. Kitab juga bisa diartikan sebagai perintah dan ketentuan-ketentuan. Jadi yang disebut dengan Kitabullah adalah ketentuan-ketentuan Allah S.W.T. Kitab-kitab yang telah Allah turunkan yaitu Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil, Kitab Al-Qur'an.



Beriman kepada kitab-kitab Allah termasuk rukun iman. Orang ISLAM harus beriman kepada kitab-kitab Allah. Artinya, orang ISLAM harus percaya Allah telah menurunkan Kitab-kitab kepada para rasul-Nya.


Kitab Suci Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS. Kitab Suci Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS. Kitab Suci Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS. Kitab Suci Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.


Tujuan Allah menurunkan 3 kitab suci sebelum Al-Qur'an sebagai pedoman hidup bagi Ummat manusia di zaman itu. Sedangkan kitab Suci Al-Qur'an diturunkan sebagai Kitab Suci terakhir untuk menyempurnakan Kitab-kitab Allah sebelumnya.


 



 Taurat


Sejarah ringkas PEMBANTAIAN IMAM 12

Sejarah Imam 11/12
Imam Hasan Al-Askari as (11) Nama : Hasan Gelar : Al-Askari Julukan : Abu Muhammad Ayah : Ali Al-Hadi Ibu : Haditsah Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rabiul Tsani 232 H. Hari/Tgl Walat : Jum'at, 8 Rabiul Awal 260 H Umur : 28 Tahun Sebab Kematian : Diracun Khalifah Abbasiah Makanan : Samara' Jumlah Anak : 1 orang ; Muhammad Al-Mahdi Riwayat Hidup Di pusat kota Madinah, tempat berhijrahnya baginda Rasulullah saww, di pusat pengembangan Islam serta tempat berdirinya Madrasah Ahlul Bait Nabi saww, lahirlah manusia suci dari keturunan Rasulullah, yang bernama Imam Hasan al-Asykari putra Imam Ali al-Hadi. 
Beliau dilahirkan pada bulan Rabiul Tsani 213 H. Sedang julukan al-Askari yang beliau sandang itu karena dinisbatkan pada suatu lempat yang bernama Asykar, di dekat kota Samara', Ibunya adalah seorang jariah yang bernama Haditsa, walau ada juga yang berpendapat bahwa namanya Susan, Salil. Sejak masa kecilnya hingga berusia 23 tahun lebih beberapa bulan, beliau melewatkan waktunya di bawah asuhan, bimbingan dan didikan ayahnya, Ali al-Hadi. 
Tidak heran, jika beliau akhirnya menjadi orang terkermuka dalam bidang ilmu, akhlak dan ibadahnya. Sepanjang waktu itu beliau menimba ilmu dari pohon suci keluarga Rasulullah saww sekaligus menerima warisan imamah dari ayahnya atas titah Ilahi. Mengenai situasi politik di zamannya, beliau hidup sezaman dengan al-Mu'taz, al-Mukhtadi dan al-Mu'tamad. Selama tujuh tahun masa keimamahannya, beliau serta semua pengikutnya mendapatkan tekanan dari pemimpin Dinasti Abbasiyah. Imam Hasan al-Asykari pernah di penjara tanpa alasan sedikit pun. Rasa iri terhadap Ahlul Bait Rasulullah saww telah merasuk hampir kepada seluruh raja Dinasti Abbasiyah. Melihat penindasan yang sangat menekan itu, Imam Hasan, Imam Hasan
al-Askari a.s. mengambil inisiatif untuk memberlakukan sistem taqiyah bagi para pengikutnya. 
Pada sisi lain, orang-orang Turki mulai mempunyai kedudukan yang kuat dalam bidang politik. al-Mu'taz. berusaha menyingkirkan mereka, namun mereka cukup kuat. Dan ketika terjadi keributan antara orang-orang Turki dengan pasukan al-Mutaz., akhirnya pasukan al-Mu'taz berhasil dikalahkan dan al-Mu'taz sendiri kemudian diturunkan dari tahtanya oleh Salih bin Washif al-Turki dan disiksa serta dipenjarakan dalam sel yang sempit hingga mati. 
ltu semua terjadi pada tahun 255 H. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan al-Mukhtadi, yang juga mengalami bentrokan dengan orang-orang Turki. Dia pun benasib buruk dan terbunuh pada tahun 256 H. Setelah kematian al-Mukhtadi, kekuasaan beralih ke tangan al-Muktamid. Dia tidak berbeda dengan penguasa-penguasa sebelumnya dalam hal kebencian dan kedengkiannya kepada Ahlul Bait. Apalagi dia mendengar bahwa dan Imam Hasan al-Askari akan lahir Imam Mahdi, yang akan menegakkan keadilan. 
Kebenciannya itu terbukti dari segala cara yang dia gunakan untuk menyingkirkan dan membunuh Hasan al-Askari. Ketika Hasan al-Askari dalam keadaan sakit, al-Muktamid mengutus seorang dokter serta hakim dan pengawalnya untuk memata-matai segala gerak-gerik Imam. 
Akhirnya Imam Hasan al-Askari syahid melalui racun pada tahun 260 H/872 M. Beliau kemudian dimakamkan bersebelahan dengan makam ayahandanya di Samara. Para pengikutnya merasa kehilangan, namun mereka herhasil menimba ilmu dari beliau. Diriwayatkan bahwa ada ratusan ulama yang beliau didik dalam bidang agama dan hadis. 


Sejarah Imam 10/12
Imam Ali Al-Hadi An-Naqi as (10)
Nama : Ali Gelar : al-Hadi, al-Naqi Julukan : Abu al-Hasan al-Tsaalits Ayah : Muhammad Al-Jawad lbu : al-Maghrabiah Tempat/Tgl : Madinah, 15 Dzul-Hijjah/5 Rajab 212 H. Hari/Tgl Wafat : Senin, 3 Rajab 254 H
Umur : 41Tahun Sebab Kematian : Diracun Al-Mu'tamad al-Abbasi Makam : Samara Jumlah Anak : 5 orang; 4 Laki-Laki dan Perempuan Anak Laki-laki : Abu Muhammad al-Hasan, al Husein, Muhammad, Ja’far Anak Perempuan : Aisyah
Riwayat Hidup
Keberadaan seorang Imam sangat penting dalam menjaga kelestarian syariat serta kelangsungan peradaban sejarah. Mereka haruslah orang yang paling utama dalam
bidang keilmuan, pemikiran dan politik, karena mereka adalah pemimpin bagi umat yang akan membimbing dan menyelesaikan segala permasalahan. Adanya keimamahan ini tidak lain merupakan kasih sayang ilahi terhadap umat manusia.
Dari kota risalah dan dari silsilah keluarga teragung dan termulia, lahirlah Ali al-Hadi bin Imam Muhammad al- Jawad. lbunya, Sumanah (al-Maghrabiah), merupakan se-orang Wanita yang shalihah. Imam Ali al-Hadi berada di bawah pemeliharaan dan pendidikan ayahnya sendiri. Tak syak lagi jika beliau kemudian menjadi panutan dalam akhlak, kezuhudan. ibadah, keilmuan dan kefaqihannya.
Bukan hanya karena kelebihannya saja yang menyebabkan beliau pantas menjadi Imam. namun penunjukan dari Imam sebelumnya atas titah Ilahi juga menjadi atasan kei- mamahannya. Semua orang, ulama, penguasa, mengetahui dengan jelas keimamahannya. Tampaknya itulah yang melahirkan pertentangan antara Muawiyah dengan Imam Ali a.s. dan Imam Hasan a.s, pertentangan Imam Husein dengan Yazid bin Muawiyah; pertentangan Hisyam bin Abdul Malik dengan Imam Muhammad al-Baqir a.s. dan Imam Ja'far as- Shadiq a.s, antara Abu Ja'far al-Manshur dengan Imam Ja'far Shadiq a.s, antara Harun ar-Rasyid dengan Imam Musa al-Kazim a.s, antara al-Makmun dengan Imam Ali ar-Ridha a.s., antara Muktasim dengan Imam Muhammad; Imam Ali Hadi an-Naqi a.s. al-Jawad a.s., antara al-Mutawakkil dengan lmam Ali al-Hadi a.s.
Masa keimamahan Ali al-Hadi adalah masa yang sarat dengan berbagai kerusakan, kejahatan serta merosotnya ekonomi rakyat akibat banyaknya pajak serta sulitnya keadaan. Beliau hidup semasa dengan Muktasim, al-Wasiqbillah, al- Mutawakkil, al-Muntasir, al-Musta’in dan al-Mu'taz.
Al-Muktasim merupakan salah seorang penguasa Bani Abbasiyah yang kehidupannya di isi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Allah, seperti meminum-minuman keras, suka tari-tarian serta pembunuhan terhadap pengikut Ahlul Bait. Dizamannyalah ayahanda Ali al-Hadi, wafat karena diracun. Hingga akhirnya al-Muktazim mati dengan berlumuran dosa dan berlumuran darah para pengikut Ahlul Bait. Setelah kematian Al-Muktasim 227 H, kekuasaan beralih ke tangan al-Wasiqbillah
Penderitaan para pengikut Ahlul Bait sedikit berkurang di zaman al-Wasiqbillah. Namun walau bagaimanapun, keadaan sosial dan politik tetap tidak mendukung penyebaran misi Ahlul Bait. 
Selama 5 tahun 7 bulan al-Wasiqbillah memegang tampuk kekuasaan dan setelah kematiannya kekuasaan beralih ke tangan al-Mutawakkil. Dalam sikap permusuhannya terhadap Ahlul Bait, Mutawakkil lak ada bandingannya di antara raja Abbasiah. Dia tak segan-segan merampas, menganiaya, bahkan membunuh siapapun yang dianggap setia kepada Ahlul Bait. Sedang keturunan Rasulullah saww, baik yang di Hijaz atau yang di Mesir, kehidupannya sangat memperihatinkan. 
Rakyat tidak diperkenankan sedikitpun untuk membantu neraka, hingga dikisahkan bahwa baju yang dipakai kaum wanita Fatimiyah, hanyalah baju yang menutupi separuh badan. Kudung tua yang dipakai untuk salat, mereka pake secara hergantian.
Tidak cukup hanya memusuhi Ahlul Bait dan keturunan Rasulullah saww serta para pengikutnya, tapi dia (Mutawakkil) juga sangat memusuhi Imam Ali bin Abi Thalib, yang dikutuk secara terang-terangan. Di suatu waktu dia memerintahkan seorang pelawaknya untuk mengejek dan menghina Imam Ali bin Abi Thalib di sebuah jamuan pesta yang diadakannya. Pada tahun 237 H/850 M, dia memerintahkan untuk meratakan makam Imam Husein a.s. yang ada di Karbala dan beberapa rumah di sekitarnya.
Pada tahun 243 H/857 M, akibat tuduhan palsu. al-Mutawakkil memerintahkan salah seorang pejabatnya untuk menyuruh Imam Ali al-Hadi pindah ke Samarah yang ketetika itu menjadi ibu kota. Dengan sabar Imam menanggung siksaan dan malapetaka dari Mutawakkil -penguasa Abbasiyah- sampai akhirnya al-Mutawakkil mati terbunuh saat mabuk dan digantikan al-Muntasir.
Al-Muntasir menggantikan ayah andanya sejak 248 H. Dia merupakan salah seorang penguasa yang sangat memusuhi kebejatan ayahnya (al-Mutawakkil). dan sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah saww. Walau hanya berkuasa selama 6 bulan. Beliau telah hanyak berlaku baik dan lemah lembut kepada Bani Hasyim serta tidak pernah meneror apalagi membunuhnya, bahkan tanah Fadak dikembalikan kepada Ahlul Bait sebagai pemilik yang syah. Enam bulan setelah berkuasa, beliau wafat dan digantikan oleh al-Musta’in.
Di masa al-Musta'in, kekejaman dan kesewenang-wenangan kembali merajalela. Pemerintahannya yang kacau dan kejam, hanya berlangsung 2 tahun 9 bulan. Atas perintah saudaranya (al-Mu'taz), dia dibunuh dan dipenggal. Kekuasaan beralih ke tangan al-Mu'taz. Dia tidak kalah kejamnya dengan al-Mutawakkil dan al-Musta'in, dan dizaman inilah Imam dipanggil ke "Samara".
Penderitaan, penganiayaan dan penindasan dihadapi dengan sabar oleh Imam Ali al-Hadi. Akhirnya, beliau harus pulang ke Rahmatullah melalui racun yang diletakkan pada makanannya oleh al-Mu'taz. Kesyahidan tersebut terjadi pada tanggal 26 Jumadil Tsani 254 H dan doa pemakamannya dipimpin oleh putra beliau yaitu Imam Hasan al-Asykari. Ketika wafat, beliau berusia 42 tahun yang kemudian dimakamkan di Samara. 

Sejarah Imam 9/12
Imam Muhammad Al-Jawad as (9)
Nama : Muhammad Gelar : Al-Jawad, Al-Taqi Julukan : Abu Ja'far Ayah : Ali Ar-Ridha Ibu : Sabikah yang dijuluki Raibanah Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rajab 195 H. Hari/Tgl Wafat : Selasa, Akhir Dzul-Hijjah 220 H. Umur : 25 Tahun Sebab kematian : diracun istrinya Makam : Al-Kadzimiah Jumlah Anak : 4 Orang; 2 laki-laki dan 2 perempuan Anak Laki-laki : Ali, Musa Anak Perempuan : Fatimah, Umamah
Riwayat Hidup
Ahlul Bait Nabi saww yang akan kita bicarakan kAli ini adalah Muhammad al Jawad. Beliau adalah putra dan Imam Ali Ar-Ridha a.s. yang dikenal sebagai orang yang zuhud, alim serta ahli ibadah. lbunya Sabikah, berasal dari kota Naubiyah. Di masa kanak-kanaknya beliau dibesarkan, diasuh dan dididik oleh ayahandanya sendiri selama 4 tahun. Kemudian ayahandanya diharuskan pindah dari Madinah ke Khurasan. 
ltulah pertermuan terakhir antara beliau dengan ayahnya, sebab ayahnya kemudian mati diracun. Sejak tanggal 17 Safar 203 Hijriah, Imam Muhammad aL-Jawad memegang tanggung jawab keimaman atas pernyataan ayahandanya sendiri serta titah dari Ilahi.
Beliau hidup di zaman peralihan antara al-Amin dan al-Makmun. Pada masa kecilnya beliau merasakan adanya kekacauan di negerinya. Beliau juga mendengar pengangkatan ayahnya sehagai putra mahkota yang mana kemudian terdengar kabar tentang kematian ayahnya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan sifal-sifat yang mulia serta tingkat kecerdasan yang tinggi. 
Dikisahkan bahwa ketika ayahnya dipanggil ke Baghdad, beliau ikut mengantarkannya sampai ke Makkah. Kemudian ayahnya tawaf dan berpamitan kepada Baitullah. Melihat ayahnya yang berpamitan kepada Baitullah, beliau akhirnya duduk dan tidak mau berjalan. Setelah ditanya, beliau menjawab: "Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan tempat ini kalau ayah sudah berpamitan dengan Bait ini untuk tidak kembali kemari". Dengan kecerdasannya yang tinggi beliau yang masih berusia empat tahun lebih bisa merasakan akan dekatnya perpisahan dengan ayahnya.
Dalam bidang keilmuan, beliau telah dikenal karena seringkali berdiskusi dengan para ulama di zamannya. Beliau mengungguli mereka semua, baik dalam bidang fiqih, hadis, tafsir dan lain-lainnya. Melihat kepandaiannya, al-Makmun sebagai raja saat itu, berniat mengawinkan Imam Muhammad al-Jawad dengan putrinya, Ummu Fadhl.
Rencana ini mendapat tantangan keras dari kaum kerabatnya, karena mereka takut Ahlul Bait Rasulullah saww akan mengambil alih kekuasaan. Mereka kemudian mensyaratkan agar Imam dipertemukan dengan seorang ahli agama Abbasiyah yang bernama Yahya bin Aktsam. Pertemuan pun diatur, sementara Qodhi Yahya bin Aktsam sudah berhadapan dengan Imam. Tanya jawab pun terjadi, ternyata pertanyaan Qodi Yahya bin Aktsam dapat dijawab oleh Imam dengan benar dan fasih. namun pcrtanyaan Imam tak mampu dijawabnya. 
Gemparlah semua hadirin yang ikut hadir saat itu. Demikian pula halnya dengan al-Makmun, juga mersa kagum sembari herkata: "Anda hebat sekali, wahai Abu Ja'far". Imam pun akhirnya dinikahkan dengan anaknya Ummu al-Hadlil, dan sebagai tanda suka cita, al-Makmun kemudian membagi-bagikan hadiah secara royal kepada rakyatnya. Setahun setelah pernikahannya Imam kembali ke Madinah hersama istrinya dan kembali mengajarkan agama Allah.
Meskipun di zaman al-Makmun, Ahlul Bait merasa lebih aman dari zaman sebelumnya, namun beberapa pemberontakan masih juga terjadi. Itu semua dikarenakan adanya perlakuan-perlakuan yang semena-mena dan para bawahan al-Makmun dan juga akibat politik yang tidak lurus kepada umat.
Setelah Al-Makmun mati, pemerintahan dipimpin oleh Muktasim. Muktasim menunjukkan sifat kebencian kepada Ahlul Bait, seperti juga para pendahulunya. Penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan terjadi lagi, hingga pemberontakan terjadi dimana-mana dan semua mengatasnamakan "Ahlul Bait Rasulullah saww". 
Melihat pengaruh Imam Muhammad yang sangat besar ditengah masyarakat, serta kemuliaan dan peranannya dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka al-Muktasim tidak berbeda dengan para pendahulunya dalam hal takutnya terhadap keimamahan Ahlul Bait Rasulullah saww.
Pada tahun 219 H karena kekhawatirannya al-Muktasim meminta Imam pindah dari Madinah ke Baghdad sehingga Imam berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pengawasan. Kepergiannya dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang jalan.
Tidak lama kemudian, tepatnya pada tahun 220 H, Imam wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh Muktasim yaitu dengabn cara meracuninya. Menurut riwayat beliau diracun oleh istrinya sendiri, Ummu Fadl, putri al-Makmun atas hasutan al-Muktasim. 
Imam Muhamad wafat dalam usia relatiisf muda yaitu 25 tahun dan dimakamkan disamping datuknya, Imam Musa Kazim, di Kazimiah, perkuburan Qurays di daerah pinggiran kota Bagdad. Meskipun beliau syahid dalam umur yang relatif muda, namun jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik umal sangatlah besar sekali.. 

Sejarah Imam 8/12
Imam Ali Ar-Ridha as (8)
Nama : Ali Gelar : Ar-Ridha Julukan : Abu al-Hasan Ayah : Musa al-Kadzim Ibu : Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis, 11 Dzulqo'dah 148 H Hari/Tgl Wafat : Selasa, 17 Shafar 203 H. Umur : 55 Tahun Sebab Kematian : Diracun Makinun al-Abbasi Makam : Masyhad, Iran Jumlah Anak : 6 orang; 5 Laki-laki dan 1 Perempuan Anak laki-laki : Muhmmad Al-Qani', Hasan, Ja'far, Ibrahim, Husein Anak perempuan : Aisyah
Riwayat Hidup
"Imam adalah orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya".
"Imam adalah seorang yang berilmu bukan seorang yang bodoh, yang akan membimbing umat bukan membuat makar".
"Imam itu tinggi ilmunya, sempurna sifat lemah lembutnya, tegas dalam perintah, tahu tentang politik, punya hak untuk menjadi pemimpin".
"Sesungguhnya Imam itu kendali agama dan sistem bagi kaum muslimin serta pondasi Islam yang kokoh. Dengannya, salat, zakat, puasa dan haji serta jihad menjadi lengkap".
"Imam bertanggung jawab memelihara Islam, serta mempertahankan syariat, aqidah dari penyimpangan dan penyesalan".
"Imam bertanggungg jawab mendidik. umat, karenanya harus bersifat memiliki ilmu, tabu tentang situasi dan kondisi sosial, politik dan kepemimpinan".
Tulisan di atas merupakan sedikit penjelasan tentang makna keimaman yang dikernukakan Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
Beliau adalah pewaris keimamahan setelah ayahnya, Musa al-Kazim a.s. yang wafat diracun oleh Harun Ar-Rasyid. lbunya, Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin dia adalah seorang yang shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali ar-Ridha a.s, Imam Musa memberinya nama at-thahirah. Imam Ali ar-Ridha a.s hidup dalam bimbingan, pengajaran dan didikan ayahnya selama tiga puluh lima tahun. 
Sejarah menjadi saksi nyata bahwa para Imam Ahlul Bait ini sangat utama dalam kedudukannya yang sekaligus merupakan rujukan bagi kaum muslimin dalam setiap permasalahan. Begitu juga Imam Ali ar-Ridha yang tumbuh dalam didikan ayahnya pantas menjadi seorang Imam serta mursyid (guru penunjuk) yang akan memelihara madrasah Ahlu Bait Nabi dan menduduki posisi kepemimpinan di mata kaum muslimin.
Begitulah, setiap Imam akan dibimbing oleh Imam sebelumnya dan setiap Imam akan memperkenalkan dan menunjukkan identitas Imam yang akan menggantikannya, agar kaum muslimin tidak kebingungan tentang siapa penerus misinya guna merujuk kepadanya dalam mencari pengetahuan tentang syariat Islam, menimba ilmu dan ma'rifat serta mengikuti kepemimpinan dan pentunjuknya.
Di zaman Ali ar-Ridha a.s. bidang ilmu, kegiatan penelitian, penulisan buku dan pendukumentasian telah berkembang pesat. Di masa ini juga hidup As-Syafi'i, Malik bin Anas, As-Tsauri, As-Syaibani, Abdullah bin Mubarok dan berbagai tokoh-tokoh ilmu pengelahuan syariat dan logika serta kemasyarakatan. Mengenai situasi sosial saat itu, siapapun yang mengkaji akan mengetahui bahwa kehidupan islam yang dipimpin al Mahdi, al-Hadi, ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun adalah kehidupan yang sarat dengan kefoya-foyaan, penuh dengan budak-budak perempuan, para penyanyi, penari dan gelas-gelas khomer. 
Ribuan juta dinar dan dirham dihambur-hamburkan sementara rakyat hidup dalam penekanan, pajak yang tinggi serta kelaparan dan berbagai teror yang ditujukan kepada mereka. Di saat seperti inilah Imam Ahlul Bait menunjukkan sikap ramahnya kepada kaum tertindas yang hidup dalam serba ketakutan serta menyerukan perbaikan dan perubahan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Karenanya, mereka mengalami penyiksaan, pengejaran, pemenjaraan pembunuhan. Sedang situasi politik saat itu, setelah Harun Ar-Rasyid meracuni ayahnya dia masih hidup beberapa tahun bersama Iman Ali Ar-Ridha. Perlakuan Harun Ar-Rasyid kepada Imam Ali ar-Ridha tidak seperti perlakuan terhadap ayahnya.
Sebelum Harun ar-Rasyid meninggal, dia membagi negeri kekuasaannya di antara ketiga orang anaknya; al-Amin, al-Makmun, al-Qosim. Situasi politik dan perekonomian mengalami kemerosotan yang tajam. Sementara itu, Imam Ali Ridha mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pengikutnya. 
Untuk mengantisipasi keadaan itu dan sekaligus memadamkan adanya beberapa pemberontakan dari kaum Alawiyin, al-Makmun kemudian mengumurnkan rencananya untuk mengangkat Imam Ali Ridha sebagai putra mahkota sepeninggalnya. Walaupun rencana itu mendapat tantangan yang keras dari pihak keluarganya, namun dia tetap bersikeras untuk mempertahankan rencananya. Kemudian dia mengirim utusan kepada Imam Ridha dan memintanya agar datang ke Khurasan untuk bermusyawarah berkenaan dengan pengangkatan beliau sebagai putra mahkota. Dengan terpaksa Imam Ali Ridha a.s. memenuhi panggilan itu. Setelah sampai di tempat al-Makrnun, rombongan kemudian ditempatkan di sebuah rumah, sedang Imam Ridha a.s., di tempatkannya di sebuah rumah tersendiri.
Akhirnya, al-Makmun menuliskan nash baiat untuk Imam Ridha a.s. dengan tangannya sendiri, dan Imam pun menanda tangani nash baiat, yang menyatakan bahwa beliau menerima pengangkatan dirinya sebagai putra mahkota.
Sejarah berbicara lain, al-Makmun bukan orang yang tidak suka kedudukan. Dia telah membunuh saudaranya al-Amin dan juga membunuh orang-orang yang telah mengabdi kepada saudaranya dan juga ayahnya, seperti Thahir bin Husain, al-Fadhl bin Sahl dan lain-lain yang telah berjasa dalam mengukuhkan pemerintahannya, maka bukan juga hal yang mustahil jika dia akhirnya menyusun siasat untuk membunuh Imam dengan cara meracuninya.
Imam Ridha a.s. syahid pada hari terakhir bulan Safar tahun 203 Hijriah di kota Thus (Masyhad) dan dimakamkan disana juga, di rumah Humaid bin Qahthabah di sisi kuburan Harun ar-Rasyid pada arah kiblat. Sekarang, makam beliau merupakan makam yang sangat menonjol, yang dikunjungi oleh jutaan peziarah yang berdesak-desakan di sekelilingnya. Kota di mana beliau di makamkan telah menjadi kota yang besar di Republik Islam Iran. Letaknya berbatasan dengan Rusia. Ia merupakan kota yang indah dan ramai. Di dalam nya terdapat perkumpulan-perkumpulan ilmiah dan sekotah agama. 

Sejarah Imam 7/12
Imam Musa Al-Kadzim as (7) Nama : Musa Gelar : Al-Kadzim Julukan : Abu Hasan Al-Tsani Ayah : Ja'far Shodiq Ibu : Hamidah AL-Andalusia Tempat/Tgl Lahir : Abwa' Malam Ahad 7 Shofar 128 H. Hari/Tgl Wafat : Jum'at 25 Rajab 183 H. Umur : 55 Tahun Sebab Kematian : Diracun Harun Ar-Rasyid Makam : Al-Kadzimiah
Riwayat Hidup
Untuk yang kesekian kalinya keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang manusia suci, pilihan Allah demi kelestarian hujjahnya yaitu Musa bin Ja'far. Beliau dilahirkan pada hari Ahad 7 Shafar 128 H di kota Abwa' antara Makkah dan Madinah.
Ayahnya begitu gembira dengan kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: "Aku berharap tidak memperoleh putra lain selain dia sehingga tidak ada yang membagi cintaku padanya". Ayahnya, Imam Ja'far As-Shadiq, telah mengetahui bahwa bayi tersebut akan menjadi orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu sebagai calon Imam, pemimpin spiritual yang akan menjadi penerus Ahlul Bait dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan kepada kakeknya Muhammad saww. 
Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hamidah, seorang wanita berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecilnya beliau telah menunjukkan sifat kepandaiannya. Pada suatu saat Abu Hanifah datang ke kediaman Imam Ja'far As-Shadiq untuk menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam Ja'far As-Shadiq a.s. sedang istirahat lalu Abu Hanifah bertanya kepada anaknya, Musa Al-Kadzim yang pada waktu itu berumur 5 tahun. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya: Bagaimana pendapat Anda tentang perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia melakukan sendiri atau Allah yang mejadikan dia berbuat seperti itu? "Wahai Abu Hanifah! Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya seperti para leluhurnya,: "perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan atas tiga kemungkinan.
Pertama, Allah sendiri yang melakukan sementara manusia benar-benar takberdaya. Kedua, Allah dan manusia sama-sama berperan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri yang melakukannya. Maka, jika asumsi pertama yang benar dengan jelas membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas dosa-dosa yang mereka tidak lakukan. Dan jika kondisi yang kedua diterima, maka Allahpun tidak adil kalau Dia menghukum manusia atas kesalahan-kesalahan yang di dalamnya Allah sendiri bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang ketiga, yakni bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka sendiri". 
Mengenai situasi politik di zaman beliau hampir sama dengan zaman sebelumnya. Beliau hidup dalam zaman yang paling kritis di bawah raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman Al-Manshur, Al-Mahdi, Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di masa Imam Musa masih berusia 5 tahun. Telah terjadi sebuah peristiwa besar yaitu runtuhnya Dinasti Umayyah dan bangkitnya Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam perbuatan jahatnya. Kedudukan jadi rebutan di saat itu, sementara istana dipenuhi dengan gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu dan syair menjadi hiasan istana Bani Abbasyiah, kejahatan mereka merajalela dan dekadensi moral hampir merata dimana-mana. Nasib keluarga Imam Musa a.s. (Al-Alawiyin) teraniaya di zaman ini.
Di zaman Al-Manshur mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir dari rumah-rumahnya dan yang lain dibunuh. Penguburan hidup-hidup bukan merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini. Kebiadaban Al-Manshur tidak berlangsung lama pada tanggal 3 Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh anaknya Al-Mahdi. Al-Mahdi memerintah sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam 169. 
Di masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di Baghdad yang kemudian dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak dapat dielakkan lagi, namun penderilaan Ahlul Bait tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah beberapa tahun, Al-Mahdi juga meninggal dunia dan sejak 22 Muharram 169 H, anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas. 
Dia terkenal kejam dan bengis sekali. Pada masa pemerintahan-nya terjadi sebuah pemberontakan yang bernama "Fakh", yang dipimpin Al-Husein bin Ali bin Al-Hasan bin Al-Husein bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan Fakh yang dipimpin oleh Husein bin Ali sama seperti kejadian "Karbala". Keluarga Bani Hasyim disertai beberapa pengikutnya yang kescluruhannya berjumlah 200 orang dipaksa menghadapi musuh yang berjumlah beberapa kali lipat. Peperangan itu tidak berlangsung lama pasukan Bani Hasyim yang dipimpin Al-Husein bin Alibin Hasan akhirnya kalah dan porak poranda, kemudian mereka semua dipenggal dan anggota tubuhnya dipisah-pisah. Tidak cukup sampai di sini rumah-rumah mereka dibakar dan pasukan al-Hadi kemudian merampas harta dari keluarga para syuhada’ yang syahid dalam membela kebenaran. Pemerintahan al-Hadi hanya berlangsung 1 tahun dan pada tahun 170 H, Harun Al-Rasyid naik tahta dan menjadi penguasa dari Bani Abbas.
Kebijaksanaan politik Harun al-Rasyid tidak berbeda dengan zaman al-Hadi. Dia tidak segan-segan membunuh puluhan orang hanya karena adanya suatu fitnahan. Sehingga dia diberi julukan "pedangnya lebih cepat dan pembicaraannya". Kami akan memberi sebuah contoh dan kejahatannya, yaitu di suatu waktu dia memanggil Humaid bin Qahtbabah dan menanyainya tentang ketaatannya kepada Amirul Mukminin. 
Humaid menyatakan kesiapannya melaksanakan segala yang diperintahkan kepadanya. Ketika Harun Al-Rasyid merasa yakin akan loyalitasnya terhadap istana Abbasiyah dan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid menyuruh seseorang khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid pergi ke sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur. Di rumah itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika khadam tersebut mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar yang terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang alawiyin dan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww. Mereka terdiri dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan memasukkan jasad mereka ke dalam sumur. Humaid pun melaksanakan perintah tersebut dengan baik. Kemudian pintu kedua dibuka dan di situ ditemukan pula tawanan sejumlah itu. Kembali khadam itu menyuruh Humaid membunuh mereka dan memasukkan jasad-jasad mereka ke dalam sumur, dan Humaid pun melaksanakan perintah tersebut. Pintu ketiga dibuka pula dan di situ terdapat sejumlah itu. Lagi-lagi khadam itu menyuruh melakukan hal sama, dan Humaid pun menaatinya.
Kisah memilukan ini sebenarnya tertutup rapat-rapat dalam laci para pelakunya. Namun Humaid bin Qahthabah membukanya ketika dia merasa bahwa dirinya telah melakukan kejahatan besar telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan sehingga pesimis untuk mendapat rahmat Allah SWT. Dalam situasi yang mencekik seperti inilah imam hidup dan berdakwah kepada rakyat di sekitarnya
Melihat pengaruh besar beliau di tengah-tengah pendukungnya, Harun al-Rasyid merasa cemas dan kemudian memenjarakan beliau tanpa atasan dan bukti apapun. Di dalam penjara inilah waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berdakwah di sana. Suatu ketika Harun al-Rasyid memerintah pengawalnya untuk memasukkan jariah yang cantik ke dalam sel Imam, guna merayu dan menjatuhkan martabatnya. 
Selang beberapa waktu ternyata Jariah yang cantik itu telah sujud bersama imam serta diriwayatkan bahwa hingga akhir hayatnya jariah tersebutmenjadi wanita yang shalehah. Segara cara  telah ditempuh, namun imam tetap pada posisinya yang mulia.
Akhirnya, Harun Al-Rasyid tidak punya pilihan lain kecuali membunuhnya. Sanadi bin Sahik yang terkenal bengis dan ingin mendapatkan kedudukan di sisi penguasa Bani Abbas segera menawarkan diri untuk menjadi pelaksana rencana pembunuhan tersebut. Dia kemudian meletakkan racun yang mematikan dalam makanan Imam Musa Al-Kazim. Tak pelak lagi, racun tersebut menjalar ke seluruh tubuh imam, dan imam pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Jenazahnya dibiarkan tergeletak dipenjara selama tiga hari yang kemudian dibuang di jembatan al-Karkh, di kota Baghdad. Mendengar berita tentang jenazah imam yang diletakkan di jembatan dan dijadikan bahan olokan oleh pengawal Sanadi bin Sahik, Sulaiman bin Ja’far Al-Manshur kemudian mengambil jenazah tersebut lalu memandikan, mengkafaninya dan melumuri wewangian serta menshalati dan menguburkannya.
Belum pernah ada di Baghdad seseorang yang dikubur yang di hadiri oleh lautan manusia seperti halnya ketika penguburan imam di pemakaman Quraiys. Bintang Ahlu Bait telah pergi untuk selamanya. Kota Baghdad seakan gelap dan gulita, sementara Mûsa bin Ja'far telah pergi dalam keadaan mulia dan terpuji.
Salam sejahtera untukmu di saat kau dilahirkan dan salam untukmu di saat kau dalam kegelapan penjara serta salam sejahtera bagimu saat kau dibangkitkan kelak sebagai orang yang syahid. 

Sejarah Imam 6/12
Imam Ja’far Ash-Shadiq as (6)
Nama : Ja'far Gelar : Ash-Shadiq Jlillikan : Abu Abdillah Ayah : Muhammad al-Baqir lbu : Fatimah Tcmpat/Tgl Lahir : Madinah, Senin 17 Rabiul Awal 83 H. Hari/Tgl Wafat : 25 Syawal 148 H. Umur : 65 Tahun Sebab Kematian : Diracun Manshur al-Dawaliki Makam : Baqi', Madinah Jumlah Anak : 10 orang; 7 laki-laki, 3 perempuan Anak Laki-laki : Ismail, Abdullah, al-Afthah, Musa al-Kadzim, Ishaq, Muhammad al-Dhibbaja, Abbas, Ali Anak Perempuan : Fatimah, Asma, Ummu Farwah
Riwayat Hidup
Imam Ja'far Ash-Shodiq a.s. adalab anak dari Imam Muhammad al-Baqir bin As Sajjad bin Imam Husein As-Syahid bi karbala, shalawatullah wasalamuhu alaihim aj-main.Beliau dilahirkan di Madinah al-Munawwarah, di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Dinasti Umayyah. 
Kehidupannya sarat dengan keilmuan dan ketaatan kepadaTuhan, sebab sejak kecilnya hingga selama sembilan belas tahun, beliau bernaung di bawah asuhan dan didikan ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir. Setelah kepergian ayahnya yang syahid, maka sejak tahun 114 H beliau menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin spiritual yang juga marji' dalam segala bidang ilmu atas pilihan Allah dan Rasul-Nya. 
Situasi politik di zaman Ja'far As-Shadiq a.s. sangat menguntungkan beliau. Sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara dua kelompok yaitu Bani Umayyah dan  Bani Abbasiah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik yang labil inilah Imam Ja'far As-Shadiq a.s. mampu menyebarkan dakwah Islam dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukan beliau meluas ke segenap penjuru, sehingga digambarkan murid beliau berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Jabir bin Hayyan At-Thusi, seorang ahli matematika, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang ulama yang disegani, serta berbagai ulama sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu Hanifah (pendiri mazbab hanafi) al-Qodi As-Sukuni dan lain-lain.
Seperti yang digambarkan di atas bahwa di zaman Imam Ja'far terjadi pergolakan politik. Rakyat sudah jenuh berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan penindasan yang dilakukan mereka selama ini. Situasi yang kacau dan pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleb golongan Abbasiah yang juga berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai "para penuntut batas dan bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang dan Bani Abbas mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dan Bani Umayyah. Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiah membawa babak baru dalam sejarah. Selang beberapa waktu ternyata Bani Abbas memusuhi Ahlu Bait dan membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuban. 
Pada 25 Syawal 148 H, al-Manshur membuat Imam Syahid dengan meracunnya. "Imam Ja'far ibn Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M. Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syiah diracun dan dibunuh karena intrik al-Manshur, khalifah Dinasti Abbasiyah. Setelah ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah ilahi dan fatwa para pendahulunya ( Thabathaba'i dalam "Islam Syiah (Asal-Usul dan Perkembanganny hal 233-234-235).
Selama masa keimaman Imam ke-6 terdapat kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di berbagai negeri Islam, terutama bangkit-nya kaum Muswaddah untuk menggulingkan kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa kerutuhan dan kemusnahan Dinasti Umayyah. 
Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran kaum Syiah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam yang benar dan pengetahuan Ahlu Bait.
Imam telah memanfaatkan kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Dinasti Umayyah dan awal dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dia mendidik banyak sarjana dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti Zararah, Muhammad ibn Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam ibn Hakam, Aban ibn Taghlib, Hisyam ibn Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan Jabir ibn Hayyan, ahli kimia. Bahkan beberapa sarjana terkermuka Sunni seperti Sofyan Tsauri, Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Qadhi Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari dan lain-lain, beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya. 
Disebutkan bahwa kelas-kelas dan majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadis dan ilmu pengetahuan lain. Jumlah hadis yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih banyak dari seluruh hadis yang pernah dicatat dari Imam lainnya.
Tetapi menjelang akhir hayatnya, Imam menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh al-Manshur, khalifah Disnati Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan pembunuhan yang kejam terhadap keturunan nabi, yang merupakan kaum Syiah, hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman kaum Umayyah. Atas perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara dinding-dinding yang dibangun di atas mereka. 
Hisyam, khalifah Dinasti Umayyah, telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus. Belakangan, Imam ditangkap oleh Saffah, khalifah Dinasti Abbasiyah dan dibawa ke Iraq. 
Akhirnya Al Manshur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarah untuk diawasi dan dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya dalam persembunyian, sampai dia diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia al-Manshur.
Mendengar berita tewasnya Imam ke-6, Manshur menulis surat kepada gubenur Madinah, memerintahkan untuk pergi ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. 
Siapapun yang dipilih oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya tujuan Manshur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi kaum Syiah. Ketika gubenur Madinah, melaksanakan perintah tersebut, membacakan pesan terakhir dan wasiatnya, dia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan satu orang, untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir, yakni khalifah sendiri, gubenur Madinah, Abdullah Aftah, putra Imam yang sulung, dan Musa, putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana al-Manshur menjadi gagal".
Meskipun Imam Ja’far telah syahid, namun peninggalannya, khususnya dalam bidang ilmu, telah membawa babak baru dalam perkembangan kebudayaan islam 

Sejarah Imam 5/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01 Jul 2003 - 12:37 am
Imam Muhammad Al-Baqir as (5)
Nama : Muhammad Gelar : Al-Baqir Julukan : Abu Ja'far Ayah : Ali Zainal Abidin lbu : Fatimah binti Hasan Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 1 Rajab 57 H. Hari/Tgl Wafat : Senin, 7 Dzulhijjah 114 H. Umur : 57 Tahun Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik Makam : Baqi’, Madinah Jumlah Anak : 8 orang; 6 laki-laki dan 2 perempuan Anak Laki-laki : Ja’far Shodiq, Abdullah, Ibrahi, Ubaidillah, Reza, Ali Anak Perempuan : Zainab, Ummu Salamah
Riwayat Hidup
Keimamahan Muhammad Al-Baqir, dimulai sejak terbunuhnya Ali Zainal Abidin a.s. melalui racun yang mematikan. Beliau merupakan orang pertama yang nasabnya bertemu antara Imam Hasan dan Imam Husein yang berarti beliau orang pertama yang bernasab kepada Fatimah Az-Zahra’, sekaligus dan pihak ayah dan ibu.
Selama 34 Tahun beliau berada dalam perlindungan dan didikan ayahnya, Ali Zainal Abidin a.s. Selama hidupnya beliau tinggal di kota Madinah dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT serta membimbing masyarakat ke jalan yang lurus.
Mengenal keilmuan dan ketaatannya, kita simak kata-kata lbnu Hajar al-Haitami, seorang ulama sunni yang mengatakan: "Imam Muhammad AL-Baqir telah menyingkapkan rabasia-rahasia pengetahuan dan kebijaksanaan, serta membentangkan prinsip-prinsip spiritual dan agama. Tak seorangpun dapat menyangkal kepribadiannya yang mulia, pengetahuan yang diberikan Allah, kearifan yang dikaruniakan oleh Allah dan tanggung jawab serta rasa syukurnya terhadap penyebaran pengetahuan. 
Beliau adalah seorang yang suci dan pemimpin spiritual yang sangat berbakat. Dan atas dasar inilah beliau terkenal dengan gelar al-baqir yang berarti pengurai ilmu. Beliau baik hati, bersih dalam kepribadian, suci jiwa, dan bersifat mulia. Imam mencurahkan seluruh waktunya dalam ketaatan kepada Allah (dan mempertahankan ajaran-ajaran nabi suci dan keturunannya). Adalah di luar kekuasaan manusia untuk menghitung pengaruh yang mendalam dan ilmu dan bimbingan yang diwariskan oleh Imam pada hati orang-orang beriman. Ucapan-ucapan beliau tentang kesalehan, pengetahuan dan kebijaksanaan, amalan dan ketaatan kepada Allah, begitu banyak sehingga isi buku ini sungguh tidak cukup untuk meliput semuanya itu".
Beliau menipakan salah seorang imam yang bidup di zaman yang bukan zaman Rasullah saww, namun jauhnya jarak waktu antara beliau dan Rasulullah bukan merupakan atasan untuk merasa jauh dengan beliau saww. Diriwayatkan: "Suatu kali Jabir bin Abdullah al-Anshori bertanya kepada Rasulullah saww: Ya Rasulullah, siapakah imam-imam yang dilahirkan dan Ali bin Abi Thalib? Rasulullah saww menjawab, Al-Hasan dan Al-Husein, junjungan para pemuda ahli surga, kemudian junjungan orang-orang yang sabar pada zamannya, Ali ibn al-Husein, lalu al-Baqir Muhammad bin Alî, yang kelak engkau ketahui kelahirannya, Wahai Jabir. Karena itu, bila engkau nanti bertemu dengannnya, sampaikanlah salamku kepadanya".
Mengenai situasi pemerintahan yang terjadi di zaman beliau, dua tahun pertama dipimpin oleh Al-Walid bin Abdul Malik yang sangat memusuhi keluarga nabi dan dialah yang memprakarsAl pembunuhan Ali Zainal Abidin a.s. Dua tahun berikutnya beliau juga hidup bersama raja Sulaiman bin Abdul Malik yang sama jahat dan durjananya dengan selainnya, yang seandainya dibandingkan maka dia jauh lebih bejat dari penguasa Bani Umayyah yang sebelumnya. 
Kemudian tampuk kepemimpinan berpindah ke tangan Umar bin Abdul Aziz, seorang penguasa Bani Umayyah yang bijaksana dan lain dari selainnya. Beliaulah yang menghapus kebiasaan melaknat Imam Ali bin Abi Thalib di setiap mimbar Jum'at, yang diprakarsai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan telah berjalan kurang lebih 70 tahun. Beliau pula yang mengembalikan tanah Fadak kepada Ahlu Bait Nabi yang pada waktu itu diwakili Imam Muhammad aL-Baqir (AL-Khishal. Jilid 3. Najf Al-Asyraf). Namun sayang beliau tidak berumur panjang dan pemerintahannya hanya berjalan tidak lebih dari dua tahun lima bulan. Pemerintahan kemudian beralih ke tangan seorang pemimpin yang laim yaitu Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.
Pemerintahan Hisyam diwarnai dengan kebejatan moral serta pengejaran dan pembunuhan terhadap para pengikut Ahlu Bait. Zaid bin Ali seorang keluarga rasul yang Alim dan syahid gugur di zaman ini. Hisyam kemudian memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan markas-markas Islam yang dipimpin oleh Imam Baqir a.s. Salah seorang murid Imam al-Baqir yang bernama Jabir al-Ja'fi juga tidak luput dari sasaran pembunuhan. 
Namun, demi keselamatannya Imam Muhammad al-Baqir menyuruhnya agar pura-pura gila. Beliau pun menerima saran dari Imam dan selamat dari ancaman pembunuhan, karena penguasa setempat mengurungkan niatnya setelah yakin bahwa Jabir benar-benar gila.
Ketika semua makar dan kejahatan yang telah ditempuh untuk menjatuhkan Imam Muhammad AL-Baqir tidak berhasil, sementara orang-orang semakin yakin akan keimamahannya, maka Bani Umayyah tidak punya alternatif lain kecuali pada tanggal 7 Zulhijjah 114 H, ketika Imam Baqir berusia 57 tahun, Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan si penguasa yang zalim, menjadikan imam syahid dengan meracuninya, dan jenanahnya dibaringkan di Jannatul Baqi' Madinah.
Ahlul Bait Nabi saww berguguran satu demi satu demi mengharap ridha dari Allah SWT. Semoga salam dilimpahkan kepada mereka ketika mereka dilahirkan, di saat mereka berangkat menghadap Tuhannya, dan saat dibangkitkan kelak. 

 Sejarah Imam 4/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01 Jul 2003 - 12:37 am
Riwayat Hidup
Imam Ali Zainal Abidin as (4)
Nama : Ali Gelar : Zainal Abidin, As-Sajjad Julukan : Abu Muhammad Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib Ibu : Syahar Banu Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H. Hari/Tgl Wafat : 25 Muharram 95 H. Umur : 57 Tahun Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik, di Zaman al-Walid Makam : Baqi' Madinah Jumlah Anak : 15 orang; 11 Laki-Laki dan 4 Perempuan Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan, Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad al-Asghor Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum
Riwayat hidup
Setelah kejadian "karbala", Ali Zainal Abidin a.s. menjadi pengganti al-Husein sebagai pemimpin umat dan sebagai penerima wahiat Rasul yang ke-empat. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib memegang kendali pemerintahan, beliau menikahkan al-Husein dengan seorang pultri Yazdarij, anak Syahriar, anak kisra, raja terakhir kekaisaran Persia yang bernama Syahar Banu. Dari perkawinan yang mulia inilah Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan.
Dua tahun pertama di masa kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Ali bin Abi Thalib. Dan setelah kakeknya berpulang ke rahmatullah beliau diasuh pamannya al-Hasan, selama delapan tahun. Beliau mendapat perlakuan yang sangat istimewa dari pamannya.
Sejak masa kecilnya beliau telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Keutamaan budi, ilmu dan ketaqwaan telah menyatu dalam dirinya. al-Zuhri berkata: "Aku tidak menjumpai seorangpun dari Ahlul Bait nabi saww yang lebih utama dari Ali bin Husein.
Beliau dijuluki as-sajjad, karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan shalat wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya: Mengapa demikian? Jawabannya: "Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan kepada siapa aku bermunajat".
Setelah kesyahidan al-Husein beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis. Tangisannya itu bukanlah semata-mata hanya karena kematian keluarganya, namun karena perbuatan umat Muhammad saww yang durjana dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan kesengsaraan mereka di dunia dan di akhirat. Bukankah Rasulullah saww tidak meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana firman Allah (as-Syura 23). "Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya adalah dengan mengikuti mereka."
Di saat keluarganya telah dibantai, sementara penguasa setempat sangat memusuhinya, misalnya di zaman Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan dipermalukan di depan umum, di zaman Abdul Malik raja dari Bani Umayyah beliau dirantai lagi dan dibawa dan Damaskus ke Madinah lalu kembali lagi ke Madinah, Akhirnya beliau banyak menyendiri serta selalu bermunajat kepada khaliqnya.
Amalannya dilakukan secara tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui amalannya. Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau memikul tepung dan roti dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di Madinah.
Dalam pergaulannya, beliau sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada lawannya. Dalam bidang ilmu serta pengajaran, meskipun yang berkuasa saat itu al-Hajjaj bin Yusuf As-Tsaqofi seorang tiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh siapapun yang membela keluarga Rasulullah saww, beliau masih sempat memberikan pengajaran dan menasehati para penguasa.
Namun, apapun yang dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang. Dan pada tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika beliau berada di Madinah, Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni Imam Ali Zainal Abidin a.s.
Keagungan beliau sulit digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan. Munajat beliau terkumpul dalam sebuah kitab yang bernama "Shahifah As-Sajjadiah
Sejarah Imam 3/12
    Nama : Husain Gelar : Sayyidu Syuhada', As-Syahid bi Karbala Julukan : Aba Abdillah Ayah : Ali bin Abi Thalib. lbu : Fatimah Az-Zahra Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis 3 Sya'ban 3 H. Hari/Tg] Wafat : Jum 'at 10 Muharram 61 H. Umur : 58 Tahun Sebab Kematian : Dibantai di Padang Karbala Makam : Padang Karbala Jumlah anak : 6 orang; 4 laki-laki dan 2 perempuan Anak laki-laki : Ali Akbar, Ali al-Autsat, Ali al-Asghar, dan Ja’far Anak Perempuan ; Sakinah dan Fathimah 
Riwayat Hidup
Sabda Rasulullah saww: "Wahai putraku al-Husein, dagingmu adalah dagingku. dan darahmu adalah darahku, engkau adalah seorang pemimpin putra seorang pemimpin dan saudara dari seorang pemimpin, engkau adalah seorang pemimpin spiritual, putra seorang pemimpin spiritual dan saudara dari pemimpin spiritual. Engkau adalah Imam yang berasal dari Rasul, putra Imam yang berasal dari Rasul dan Saudara dari Imam yang berasal dari Rasul, engkau adalah ayah dari semua Imam, yang ke semua adalah al- Qo'im (Imam Mahdi)." (14 Manusia Suci Hal 92)
Salman al-Farisi r.a. berkata:"Aku menemui Rasulullah saww, dan kulihat al-Husein sedang berada di pangkuan beliau. Nabi mencium pipinya dan mengecupi mulutnya, lalu bersabda: "Engkau seorang junjungan, putra seorang junjungan dan saudara seorang junjungan; engkau seorang Imam putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam; engkau seorang hujjah, putra seorang hujah, dan ayah dari sembilan hujjah. Hujjah yang ke sembilan Qoim mereka yakni Al-Mahdi." (al-Ganduzi, Yanabi’ al Mawaddah)
Berkata Jabir bin Samurrah : "Saya ikut bersama ayah menemui Nabi saww, lalu saya mendengar beliau hersabda: "Persoalan lima ini belum akan tuntas sebelum berjalan pemerintahan 12 (dua belas) khalifah di tengah-tengah mereka". Kemudian beliau mengatakan sesuatu yang tidak bisa saya dengar. Karena itu, beberapa waktu kemudian saya bertanya kepada ayah: "Apa yang beliau katakan?". Nabi mengatakan: "Semua khalifah itu berasal dan kalangan Quraisy". Jawab ayahku. (Shahih Muslim Jilid 3, Bukhari, Al-Tirmizi dan Abu Daud)
Di tengah kebahagiaan dan kerukunan keluarga Fathimah Az-Zahra lahirlah seorang bayi yang akan memperjuangkan kelanjutan misi Rasulullah saww. Bayi itu tidak lain adalah Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang dilahirkan pada suatu malam di bulan Sya'ban.
Rasululullah saww bertanya pada Imam Ali bin Abi Thalib: "Engkau bernama siapa anakku ini?" Saya tidak berani mendahuluimu wahai Rasulullah". Jawab Ali. Akhirnya Rasululullah saww mendapat wahyu agar menamainya "Husein". Kemudian di hari ketujuh, Rasulullah bergegas ke rumah Fatimah Az-Zahra dan menyembelih domba sebagai aqiqahnya. Lalu dicukurnya rambut al-Husein dan Rasul bersedekah dengan perak seberat rambutnya yang kemudian mengkhitannya sebagaimana upacara yang dilakukan untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Sebagaimana Imam Hasan, beliau juga mendapat didikan langsung dari Rasulullah saww. Dan setelah Rasulullah meninggal, beliau dididik oleh ayahnya. Hingga akhirnya Imam Ali terbunuh dan Imam Hasan yang menjadi pimpinan saat itu. Namun Imam Hasan pun syahid dalam mempertahankan Islam dan kini Imam Husein yang menjadi Imam atas perintah Allah dan Rasul-Nya serta wasiat dari saudaranya. 
Imam Husein hidup dalam kondisi yang paling sulit. Itu semua merupakan akibat adanya penekanan dan penganiayaan serta banyaknya kejahatan dan kedurjanaan yang dilakukan Muawiyah. Bahkan yang lebih fatal lagi, ia menyerahkan ke khalifahan kaum muslimin kepada anaknya Yazid, yang dikenal sebagai pemabuk, penzina, yang tidak pernah mendapat didikan Islam, serta seorang pemimpin yang setiap harinya hanya bermain dan berteman dengan kera-kera kesayangannya.
Hukum-hukum Allah tidak diberlakukan, sunnah-sunnah Rasululullah ditinggalkan dan Islam yang tersebar bukan lagi Islamnya Muhammad saww, melainkan Islamnya Muawiyah serta Yazid yang identik dengan kerusakan dan kedurjanaan. Imam Husein merupakan tokoh yang paling ditakuti oleh Yazid. Hampir setiap kerusakan yang dilakukannya ditentang oleh Imam Husein dan beliau merupakan seorang tokoh yang menolak untuk berbaiat kepadanya. Kemudian Yazid segera menulis surat kepada gubenurnya al-Walid bin Utbah, dan memerintahkannya agar meminta baiat dari penduduk Madinah secara umum dan dari al-Husein secara khusus dengan cara apapun.
Melihat itu semua, akhirnya Imam Husein berinisiatif untuk meninggalkan Madinah. Namun sebelum meninggalkan Madinah beliau terlebih dahulu berjalan menuju maqam kakeknya Rasulullah saww, serta shalat didekatnya dan berdoa: "Ya Allah ini adalah kuburan nabi-Mu dan aku adalah anak dari putri nabi-Mu ini. 
Kini telah datang kepadaku persoalan yang sudah aku ketahui sebelumnya. Ya Allah! Sesungguhnya aku menyukai yang maruf dan mengingkari yang mungkar, dan aku memohon kepada-Mu, wahai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mulia, melalui haq orang yang ada dalam kuburan ini, agar jangan Engkau pilihkan sesuatu untukku, kecuali yang Engkau dan Rasul-Mu meridhainya" ( Abdul Rozaq Makram, Maqtal al-Hasan hal 147).
Setelah menyerahkan segala urusannya kepada Allah, beliau segera mengumpulkan seluruh Ahlul-Bait dan pengikut-pengikutnya yang setia, lalu menjelaskan tujuan perjalanan beliau, yakni Mekkah.
Mungkin kita bertanya-tanya, apa sebenarnya motivasi gerakan revolusioner yang dilakukan Imam Husein hingga beliau harus keluar dari Madinah. Imam Husein sendiri yang menjelaskan alasannya kepada Muhammad bin Hanafiah dalam surat yang ditulisnya: "Sesungguhnya aku melakukan perlawanan bukan dengan maksud berbuat jahat, sewenang- wenang, melakukan kerusakan atau kezaliman. Tetapi semuanya ini aku lakukan semata-mata demi kemaslahatan umat kakekku Muhammad saww. Aku bermaksud melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, dan mengikuti jalan yang telah dirintis oleh kakekku dan juga ayahku Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah barangsiapa yang menerimaku dengan haq, maka Allah lebih berhak atas yang haq. Dan barang siapa yang menentang apa yang telah kuputuskan ini, maka aku akan tetap bersabar hingga Allah memutuskan antara aku dengan mereka tentang yang haq dan Dia adalah sebaik-baik pemberi keputusan."
Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya rombongan Imam Husein sampai di kota Makkah, yaitu suatu kota yang dilindungi Allah SWT yang dalam Islam merupakan tempat yang di dalamnya perlindungan dan keamanan dijamin. Peristiwa ini terjadi di akhir bulan Rajab 60 Hijriah.
Selama empat bulan di Makkah Imam banyak berdakwah dan membangkitkan semangat Islam dari penduduk Makkah.
Dan ketika tiba musim haji, Imam segera melaksanakan ibadah haji dan berkhutbah di depan khalayak ramai dengan khutbah singkat yang mengatakan bahwa beliau akan ke lraq menuju kota Kufah.
Selain karena keamanan Imam Husein sudah terancam, ribuan surat yang datangnya dari penduduk kota Kufah juga menjadi pendorong keberangkatan Imam Husein ke kota itu. Dan sehari setelah khutbahnya itu, Imam Husein berangkat bersama keluarga dan para pengikutnya yang setia, guna memenuhi panggilan tersebut.
Ketika dalam perjalanan, ternyata keadaan kota Kufah telah berubah. Yazid mengirimkan lbnu Ziyad guna mengantisipasi keadaan. Wakil Imam Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia segera dibunuhnya. Penduduk Kufah pun berubah menjadi ketakutan, tak ubahnya laksana tikus yang melihat kucing. (Abdul Karim AL-Gazwini, al-Wasaiq al-Rasmiah Li Tsaurah al-Husein Hal 36).
Sekitar tujuh puluh kilometer dari Kufah di suatu tempat yang bernama "Karbala", Imam Husein beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh) laki-laki dan sisanya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga bani Hasyim, baik anak-anak, saudara, keponakan dan saudara sepupu; telah dikepung oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.
Musuh yang tidak berperikemanusiaan itu, melarang Imam dan rombongannya untuk meminum dari sungai Efrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya bisa berendam di sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah dilarang mengambil air walaupun seteguk.
Penderitaan demi penderitaan, jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah sedihnya peristiwa itu. Imam Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda penghulu surga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus menerima perlakuan keji dari manusia yang tidak mengenal batas budi.
Pada tanggal 10 (sepuluh) Muharram 61 Hijriah, 680 Masehi), pasukan Imam Husein yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30.000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibantai. Tubuh mereka dipisah-pisah dan diinjak-injak dengan kudanya. Hingga ketika tidak ada seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih mungil itu harus mengakhiri riwayatnya didekapan ayahnya, Al-Husein.
Kini tinggallah Al-Husein seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi proyek Allah apapun boleh terjadi, asal agama Allah bisa tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan Al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah, rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikecup dan digendong Rasulullah saww kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr, lelaki yang bertampang menakutkan, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu.
Setelah kepergian Imam Husein, pasukan musuh menjarah barang-barang milik Imam dan pengikutnya yang telah tiada. Kebiadaban mereka tidak cukup sampai di sini, mereka lalu menyerang kemah wanita dan membakarnya serta mempermalukan wanita keluarga Rasulullah. Rombongan yang hanya terdiri dan kaum wanita itu, kemudian dijadikan sebagai tawanan perang yang dipertontonkan dan satu kota ke kota lain.
Rasulullah yang mendirikan negara Islam dan membebaskan mereka dari kebodohan. Namun keluarga Umayah yang tidak tahu membalas budi telah memperlakukan keluarga Rasulullah semena-mena. Beginikah cara umatmu membalas kebaikanmu wahai Rasulullah saww? Benarlah sabda Rasulullah yang berbunyi: "Wahai Asma! Dia (al-Husein) kelak akan dibunuh oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada mereka."
Pembicaraan tentang Imam Husain adalah pembicaraan yang dipenuhi dengan keheroikan dan pengorbanan 

Sejarah Imam 2/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01 Jul 2003 - 12:37 am
Imam Hasan Al-Mujtaba as (2)
Nama : Hasan Gelar : al-Mujtaba Julukan : Abu Muhammad Ayah : Ali bin Abi Thalib Ibu : Fathimah az-Zahra Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Selasa 15 Ramadhan 2 H. Hari/Tgl Wafat : Kamis, 7 Shafar Tahun 49 H. Umur : 47 Tahun Sebab Kematian : Diracun Istrinya, Ja'dah binti As-Ath Makam : Baqi' Madinah Jumlah Anak : 15 orang; 8 laki-laki dan 7 perempuan Anak Laki-laki : Zaid, Hasan, Umar, Qosim, Abdullah, Abdurrahman, Husein, Thalhah Anak Perempuan : Ummu al-Hasan, Ummu al-Husein, Fathimah, Ummu Abdullah, Fathimah, Ummu Salamah, Ruqoiyah
Riwayat Hidup
"..Maka katakanlah (hai Muhammad): mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian.. ."(Surah Al-lmran 61)
"Sesungguhnya Allah SWT menjadikan keturunan bagi setiap nabi dan dari tulang sulbinya masing-masing, tetapi Allah menjadikan keturunanku dan tulang sulbi Ali bin Abi Thalib". (Kitab Ahlul Bait hal. 273-274)
"Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka."(Tafsir Al Manar, dalam menafsirkan Surah al-An’am ayat 84)
Satu ayat di atas serta dua hadis di bawahnya menunjukkan bahwa Hasan dan Husein adalah kecintaan Rasul yang nasabnya disambungkan pada dirinya. Hadis yang berbunyi: "Tapi Allah menjadikan keturunanku dari tulang sulbi Ali Bin Abi Thalib", menunjukkan bahwa Rasulullah yang tidak berbicara karena kemauan hawa nafsu kecuali wahyu semata-mata, ingin mengatakan bahwa Hasan dan Husein adalah anaknya beliau saww. Begitu juga hadis kedua, beliau mengungkapkan bahwa anak Fathimah bernasab kepada dirinya saww. Pernyataan tersebut dipertegas oleh ayat yang di atas, dimana Allah sendiri menyebut mereka dengan istitah ‘anak-anaknya’ yakni putra-putra Muhammad Rasululullah saww.
Nabi juga sering bersabda: "Hasan dan Husein adalah anak-anakku". Atas dasar ucapan nabi inilah, Ali bin Abi Thalib berkata kepada anak-anaknya yang lain: "Kalian adalah anak-anakku sedangkan Hasan dan Husein adalah anak-anak Nabi". Karena itulah ketika Rasulullah saww masib hidup mereka berdua memanggil nabi saww "ayah". Sedang kepada Imam Ali a.s. Husein memanggilnya Abu Al Hasan, sedang Hasan memanggil sebagai Abu al-Husein. Ketika Rasulullah saww berpulang kerahmat Allah, barulah mereka berdua memanggil hadrat Ali dengan "ayah".
Beginilah kedekatan nasab mereka berdua kepada Rasululullah saww. Sejak hari lahirnya hingga berumur tujuh tahun Hasan mendapat kasih sayang serta naungan dan didikan langsung dari Rasululullah saww, sehingga beliau dikenal sebagai seorang yang ramah, cerdas, murah hati, pemberani, serta berpengetahuan luas tentang seluruh kandungan setiap wahyu yang diturunkan saat nabi akan menyingkapnya kepada para sahabatnya.
Dalam kesalehannya, beliau dikenal sebagai orang yang saleh, bersujud dan sangat khusyuk dalam shalatnya. Ketika berwudhu beliau gemetar dan di saat shalat pipinya basah oleh air mata sedang wajahnya pucat karena takut kepada Allah SWT. Dalam belas dan kasih sayangnya, beliau dikenal sebagai orang yang tidak segan untuk dengan pengemis dan para gelandangan yang bertanya tentang masalah agama kepadanya.
Dari sifat-sifat yang mulia inilah beliau tumbuh menjadi seorang dewasa yang tampan, bijaksana dan berwibawa. Setelah kepergian Rasulullah saww beliau langsung berada di bawah naungan dan didikan ayahnya Ali bin Abi Thalib a.s. Hampir tiga puluh tahun, beliau bernaung di bawah didikan ayahnya, hingga akhirnya pada tahun 40 Hijriyah. Ketika ayahnya terbunuh dengan pedang beracun yang dipukulkan Abdurrahman bin Muljam, Hasan mulai menjabat keimamahan yang ditunjuk oleh Allah SWT.
Selama masa kepemimpinannya, beliau dihadapkan kepada orang yang sangat memusuhinya dan memusuhi ayahnya, Muawiyah bin Abi Sofyan dari bani Umayyah. Muawiyah bin Abi Sofyan yang sangat herambisi kepada kekuasaan selalu merongrong dan menyerang Imam Hasan a.s. dengan kekuatan pasukannya. Sementara dengan kelicikannya dia menjanjikan hadiah-hadiah yang menarik bagi jenderal dan pengikut Imam Hasan yang mau menjadi pengikutnya.
Karena banyaknya pengkhianatan yang dilakukan pengikut Imam Hasan a.s. yang merupakan akibat bujukan Muawiyah, akhirnya Imam Hasan menerima tawaran darinya. Perdamaian bersyarat itu dimaksudkan agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan kaum muslimin. 
Namun, Muawiyah mengingkari seluruh isi perjanjian itu. Kejahatannya pun semakin merajalela, khususnya kepada keluarga Rasulullah saww dan orang yang mencintai mereka akan selalu ditekan dengan kekerasan dan diperlakukan dengan tidak senonoh.
Dan pada tahun 50 Hijriah, beliau dikhianati oleh isterinya, Ja'dah putri Ash'ad, yang menaruh racun diminuman Imam Hasan. Menurut sejarah, Muawiyah adalah dalang dari usaha pembunuhan anak kesayangan Rasulullah saww ini.
Akhirnya manusia agung, pribadi mulia yang sangat dicintai oleh Rasulullah kini telah berpulang ke rahmatullah. Pemakamannya dihadiri oleh Imam Husein a.s. dan para anggota keluarga Bani Hasyim. Karena adanya beberapa pihak yang tidak setuju jika Imam Hasan dikuburkan didekat maqam Rasulullah dan ketidaksetujuannya itu dibuktikan dengan adanya hujan panah ke keranda jenazah Imam Hasan a.s. Akhirnya untuk kesekian kalinya keluarga Rasulullah yang teraniaya terpaksa harus bersabar. Mereka kemudian menglihkan pemakaman Imam Hasan a.s. ke Jannatul Baqi' di Madinah. Pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) kemudian, pekuburan Baqi' diratakan dengan tanah oleh pemerintah yang berkuasa di Hijaz.
Imam Hasan telah tiada, pemakamannya pun digusur namun perjuangan serta pengorbanannya yang diberikan kepada Islam akan tetap terkenang di hati sanubari setiap insan yang mengaku dirinya sebagai pengikut dan pencinta Muhammad saww serta Ahlul Baitnya. 
 Sejarah Imam 1/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01 Jul 2003 - 12:37 am
Imam Ali bin Abi Thalib as (1) Nama : Ali bin Abi Thalib as Gelar : Amirul Mukminin Julukan : Abu AL-Hasan, Abu Turab Ayah : Abu Thalib (Paman Rasululullah saww) Ibu : Fatirnah binti Asad Tempat/Tgl Lahir : Mekkah, Jum'at 13 Rajab Hari/Tgl Wafat : Malam Jum' at, 21 Ramadhan 40 H. Umur : 63 Tahun Sebab Kematian : Ditikam oleh Abdurrahman ibnu Muljam
Makam : Najaf Al-Syarif Jumlah Anak : 36 Orang, 18 laki-laki dan 18 perempuan
Anak laki-laki : 1. Hasan Mujtaba, 2. Husein, 3. Muhammad Hanafiah, 4. Abbas al-Akbar, yang dijuluki Abu Fadl, 5. Abdullah al-Akbar, 6. Ja’far al-Akbar, 7. Utsman al- Akbar, 8. Muhammad al-Ashghar, 9. Abdullah al-Ashghar, 10. Abdullah, yang dijuluki Abu Ali, 11. ‘Aun, 12. Yahya, 13. Muhammad al Ausath, 14. Utsman al Ashghar 15.Abbas al-Ashghar, 16. Ja’far al-Ashghar, 17. Umar al-Ashghar, 18. Umar al-Akbar
Anak Perempuan : 1. Zainab al-Kubra, 2. Zainab al-Sughra, 3.Ummu al-Hasan, 4. Ramlah al-Kubra, 4. Ramlah al-Sughra, 5. Ummu al-Hasan, 6. Nafisah, 7. Ruqoiyah al-Sughra, 8. Ruqoiyah al-Kubra, 9. Maimunah, 10. Zainab al-Sughra, 11. Ummu Hani, 12. Fathimah al-Sughra, 13.Umamah, 14.Khodijah al-Sughra, 15 Ummu Kaltsum, 16. Ummu Salamah, 17. Hamamah, 18. Ummu Kiram
Riwayat Hidup
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. adalah sepupu Rasulullah saww. Dikisahkan bahwa pada saat ibunya. Fatimah hinti Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut bertawaf disekitar Ka'bah. Karena keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka'bah seraya memohon kepada Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah tersebut bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah bind Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang bayi mungil yang kelak kemudian menjadi manusia besar, Imam Alibin Abi Thalib.a.s.
Pembicaraan tentang Imam Ali bin Abi Thalib tidak dapat dipisahkan dengan Rasulullah saww. Sebab sejak kecil beliau telah berada dalam didikan Rasulullah saww, sebagaimana dikatakannya sendiri: "Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima serta mengikutinya sebagai suatu perintah".
Setelah Rasulullah saww mengumurnkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk orang yang masuk islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan dan diajarkan Rasulullah kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Sehingga beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter, hina dan jahat dan tidak tenodai oleh kemaksiatan. Kepribadian beliau telah menyatu dengan Rasululullah saww, baik dalam karakternya, pengetahuannya, pengorbanan diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam berbicara dan berpidato.
Sejak masa kecilnya beliau telah menolong Rasulullah saww dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saww.
Keberaniannya tidak tertandingi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saww: "Tiada pemuda sehebat Ali". Dalam bidang keilmuan, Rasul menamakannya sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiaannya, maka simaklah sabda Rasulullah saww: "Jika kalian ingin tahu ilmunya Adam, kesalehan Nuh, kesetiaan lbrahim, keterpesonaan Musa, pelayanan dan kepantangan Isa, maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali". Beliau merupakan orang yang paling dekat hubungan kefamiliannya dengan Nabi saww sebab, beliau bukan hanya sepupu nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan suami dari putrinya serta sebagai penerus kepemimpinan sepeninggalnya saww.
Sejarah juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dan jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud, yang mana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah yang sangat memusuhi Nabi saww, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera datang untuk menyelamatkan diri nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saww ber-sabda: 
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, temyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga terbelah menjadi dua bagian.
Begitulah kegagahan yang ditampakkan oleh Imam Ali dalam menghadapi musuh islam serta dalam membela Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kebidupan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan proyek Allah. Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah benar-benar terbukti lewat perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah saat ditinggalkan Rasulullah saww. Tidak cukup itu, 75 hari kemudian istrinya, Fatimah Zahra, juga meninggal dunia.
Kepergian Rasululullah saww telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Terjadinya perternuan Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah pulang dari kuburan Rasulullah saww. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum di makamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya. 
Sepuluh tahun lamanya khalifah ke-2 meimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Pada tahun 35 H, khalifah Utsman terbunuh dan kaum muslimin secara aklamasi memilih serta menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasululullah saww dan sejak itu beliau memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali mengikuti cara Nabi dan mulai menyusun sistim yang islami dengan membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
Dalam merealisasikan usahanya, beliau mengbadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dan beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamal dekat Bashrah antara beliau dengan Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mua'wiyah, yang mana di dalamnya Aisyah "Ummul Mukminin" ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali a.s berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah "Ummul Mu'rninin" dipulangkan secara terhormat kerumahnya.
Kemudian terjadi "perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau a.s. melawan kelompok Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi yang merongrong negara yang syah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi Khawarij (orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama "perang Nahrawan". Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s digunakan untuk peperangan interen melawan pihak- pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan negara Islam.
Akhirnya, menjelang subuh, 19 Ramadhan 40 H, ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau ditebas dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria sejati ini masih sempat memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah, yang dilahirkan di rumah Allah "Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah "Mesjid Kufah", yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada dalam didikan Rasulullah saw sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam ketaatan pada Allah hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan pengabdiannya untuk Islam.
Beliau memang telah tiada namun itu tidak berarti seruannya telah berakhir, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya. " (Q.S. : 2 : 154)



Gerakan Syiah: Sejarah dan Perkembangannya
Kamis, 09/07/2009 21:57 WIB | email | print
Selama ini, mayoritas orang selalu menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.

Tapi sesungguhnya ada perbedaan antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah, namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.

Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.

Perkembangan Syiah
Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979, persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.

Doktrin Taqiyah
Untuk menghalangi perkembangan Syi’ah sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan Syi’ah membuat doktrin dan ajaran yang disebut “taqiya.” Apa itu taqiyah? Taqiyah adalah konsep Syiah dimana mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Konsep taqiya ini diambil dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah.” (Al-Kaafi, jus II, h. 219).

Jadi sudah jelas bahwa Syi’ah mewajibkan konsep taqiyah kepada pengikutnya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Padahal, arti taqiyah menurut pemahaman para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, taqiyah tidaklah wajib hukumnya, melainkan mubah, itupun dalam kondisi ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.
Doktrin taqiyah dalam ajaran Syi’ah merupakan strategi yang sangat hebat untuk mengembangkan pahamnya, serta untuk menghadapi kalangan Ahli Sunnah, hingga sangat sukar untuk diketahui gerakan mereka dan kesesatannya.

Kesesatan-kesesatan Syiah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12 Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang telah nyata adalah:
  1. Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
  2. Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
  3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
  4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
  5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
  6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
  7. Keyakinan mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
  8. Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.



PEMIKIRAN DARI PENUTURAN DI ATAS:

Saat ini figur-figur Syiah begitu terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat. Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat. (sa/berbagaisumber)
Keberadaan seorang Imam sangat penting dalam menjaga kelestarian syariat serta kelangsungan peradaban sejarah. Mereka haruslah orang yang paling utama dalam
bidang keilmuan, pemikiran dan politik, karena mereka adalah pemimpin bagi umat yang akan membimbing dan menyelesaikan segala permasalahan. Adanya keimamahan ini tidak lain merupakan kasih sayang ilahi terhadap umat manusia.

Hukum-hukum Allah tidak diberlakukan, sunnah-sunnah Rasululullah ditinggalkan dan Islam yang tersebar bukan lagi Islamnya Muhammad saww, melainkan Islamnya Muawiyah serta Yazid yang identik dengan kerusakan dan kedurjanaan

Al-Rasyid merasa yakin akan loyalitasnya terhadap istana Abbasiyah dan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid menyuruh seseorang khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid pergi ke sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur. Di rumah itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika khadam tersebut mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar yang terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang alawiyin dan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww. Mereka terdiri dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan memasukkan jasad mereka ke dalam sumur.
Yazid mengirimkan lbnu Ziyad guna mengantisipasi keadaan. Wakil Imam Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia segera dibunuhnya. Penduduk Kufah pun berubah menjadi ketakutan, tak ubahnya laksana tikus yang melihat kucing. (Abdul Karim AL-Gazwini, al-Wasaiq al-Rasmiah Li Tsaurah al-Husein Hal 36).
Sekitar tujuh puluh kilometer dari Kufah di suatu tempat yang bernama "Karbala", Imam Husein beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh) laki-laki dan sisanya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga bani Hasyim, baik anak-anak, saudara, keponakan dan saudara sepupu; telah dikepung oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.
Musuh yang tidak berperikemanusiaan itu, melarang Imam dan rombongannya untuk meminum dari sungai Efrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya bisa berendam di sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah dilarang mengambil air walaupun seteguk.
Penderitaan demi penderitaan, jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah sedihnya peristiwa itu. Imam Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda penghulu surga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus menerima perlakuan keji dari manusia yang tidak mengenal batas budi.
Pada tanggal 10 (sepuluh) Muharram 61 Hijriah, 680 Masehi), pasukan Imam Husein yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30.000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibantai. Tubuh mereka dipisah-pisah dan diinjak-injak dengan kudanya. Hingga ketika tidak ada seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih mungil itu harus mengakhiri riwayatnya didekapan ayahnya, Al-Husein.
Kini tinggallah Al-Husein seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi proyek Allah apapun boleh terjadi, asal agama Allah bisa tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan Al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah, rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikecup dan digendong Rasulullah saww kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr, lelaki yang bertampang menakutkan, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu. 

Masa kegelapan menjadi cahaya masa depan dengan mensikapi diri sendiri agar lebih berarti buat orang banyak dengan tanpa membeda-bedakan Kepercayaan, Ras, Latar belakang dan keadaan dll...  Kekotoran harus dibersihkan...
 
 NENDEN SALWA