SETELAH RASULULLOH MENINGGAL...
TERJADI PEMBANTAIAN IMAM 12 ….
SIAPA YANG MENYELAMATKAN ALQUR'AN?
Iman Kepada Kitab-Kitab Allah S.W.T
Kitab-kitab Allah diturunkan kepada para Nabi untuk kemudian disebarkan kepada seluruh manusia.Kitab berasal dari Bahasa Arab yang artinya sesuatu yang ditulis. Kitab juga bisa diartikan sebagai perintah dan ketentuan-ketentuan. Jadi yang disebut dengan Kitabullah adalah ketentuan-ketentuan Allah S.W.T. Kitab-kitab yang telah Allah turunkan yaitu Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil, Kitab Al-Qur'an.
Beriman kepada kitab-kitab Allah termasuk rukun iman. Orang ISLAM harus beriman kepada kitab-kitab Allah. Artinya, orang ISLAM harus percaya Allah telah menurunkan Kitab-kitab kepada para rasul-Nya.
Kitab Suci Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS. Kitab Suci Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS. Kitab Suci Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS. Kitab Suci Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Tujuan Allah menurunkan 3 kitab suci sebelum Al-Qur'an sebagai pedoman hidup bagi Ummat manusia di zaman itu. Sedangkan kitab Suci Al-Qur'an diturunkan sebagai Kitab Suci terakhir untuk menyempurnakan Kitab-kitab Allah sebelumnya.
Beriman kepada kitab-kitab Allah termasuk rukun iman. Orang ISLAM harus beriman kepada kitab-kitab Allah. Artinya, orang ISLAM harus percaya Allah telah menurunkan Kitab-kitab kepada para rasul-Nya.
Kitab Suci Taurat diturunkan kepada Nabi Musa AS. Kitab Suci Zabur diturunkan kepada Nabi Daud AS. Kitab Suci Injil diturunkan kepada Nabi Isa AS. Kitab Suci Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Tujuan Allah menurunkan 3 kitab suci sebelum Al-Qur'an sebagai pedoman hidup bagi Ummat manusia di zaman itu. Sedangkan kitab Suci Al-Qur'an diturunkan sebagai Kitab Suci terakhir untuk menyempurnakan Kitab-kitab Allah sebelumnya.
Taurat
Sejarah ringkas PEMBANTAIAN IMAM 12
Sejarah
Imam 11/12
Imam Hasan Al-Askari as (11) Nama : Hasan Gelar : Al-Askari Julukan : Abu Muhammad Ayah : Ali
Al-Hadi Ibu : Haditsah Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rabiul Tsani 232 H.
Hari/Tgl Walat : Jum'at, 8 Rabiul Awal 260 H Umur : 28 Tahun Sebab Kematian :
Diracun Khalifah Abbasiah Makanan : Samara' Jumlah Anak : 1 orang ; Muhammad
Al-Mahdi Riwayat Hidup Di pusat kota Madinah, tempat berhijrahnya baginda
Rasulullah saww, di pusat pengembangan Islam serta tempat berdirinya Madrasah
Ahlul Bait Nabi saww, lahirlah manusia suci dari keturunan Rasulullah, yang
bernama Imam Hasan al-Asykari putra Imam Ali al-Hadi.
Beliau dilahirkan pada
bulan Rabiul Tsani 213 H. Sedang julukan al-Askari yang beliau sandang itu
karena dinisbatkan pada suatu lempat yang bernama Asykar, di dekat kota
Samara', Ibunya adalah seorang jariah yang bernama Haditsa, walau ada juga yang
berpendapat bahwa namanya Susan, Salil. Sejak masa kecilnya hingga berusia 23
tahun lebih beberapa bulan, beliau melewatkan waktunya di bawah asuhan,
bimbingan dan didikan ayahnya, Ali al-Hadi.
Tidak heran, jika beliau akhirnya
menjadi orang terkermuka dalam bidang ilmu, akhlak dan ibadahnya. Sepanjang
waktu itu beliau menimba ilmu dari pohon suci keluarga Rasulullah saww
sekaligus menerima warisan imamah dari ayahnya atas titah Ilahi. Mengenai
situasi politik di zamannya, beliau hidup sezaman dengan al-Mu'taz, al-Mukhtadi
dan al-Mu'tamad. Selama tujuh tahun masa keimamahannya, beliau serta semua
pengikutnya mendapatkan tekanan dari pemimpin Dinasti Abbasiyah. Imam Hasan
al-Asykari pernah di penjara tanpa alasan sedikit pun. Rasa iri terhadap Ahlul
Bait Rasulullah saww telah merasuk hampir kepada seluruh raja Dinasti
Abbasiyah. Melihat penindasan yang sangat menekan itu, Imam Hasan, Imam Hasan
al-Askari a.s.
mengambil inisiatif untuk memberlakukan sistem taqiyah bagi para pengikutnya.
Pada sisi lain, orang-orang Turki mulai mempunyai kedudukan yang kuat dalam
bidang politik. al-Mu'taz. berusaha menyingkirkan mereka, namun mereka cukup
kuat. Dan ketika terjadi keributan antara orang-orang Turki dengan pasukan
al-Mutaz., akhirnya pasukan al-Mu'taz berhasil dikalahkan dan al-Mu'taz sendiri
kemudian diturunkan dari tahtanya oleh Salih bin Washif al-Turki dan disiksa
serta dipenjarakan dalam sel yang sempit hingga mati.
ltu semua terjadi pada
tahun 255 H. Kekuasaan kemudian beralih ke tangan al-Mukhtadi, yang juga
mengalami bentrokan dengan orang-orang Turki. Dia pun benasib buruk dan
terbunuh pada tahun 256 H. Setelah kematian al-Mukhtadi, kekuasaan beralih ke
tangan al-Muktamid. Dia tidak berbeda dengan penguasa-penguasa sebelumnya dalam
hal kebencian dan kedengkiannya kepada Ahlul Bait. Apalagi dia mendengar bahwa
dan Imam Hasan al-Askari akan lahir Imam Mahdi, yang akan menegakkan keadilan.
Kebenciannya itu terbukti dari segala cara yang dia gunakan untuk menyingkirkan
dan membunuh Hasan al-Askari. Ketika Hasan al-Askari dalam keadaan sakit,
al-Muktamid mengutus seorang dokter serta hakim dan pengawalnya untuk
memata-matai segala gerak-gerik Imam.
Akhirnya Imam Hasan al-Askari syahid
melalui racun pada tahun 260 H/872 M. Beliau kemudian dimakamkan bersebelahan
dengan makam ayahandanya di Samara. Para pengikutnya merasa kehilangan, namun
mereka herhasil menimba ilmu dari beliau. Diriwayatkan bahwa ada ratusan ulama
yang beliau didik dalam bidang agama dan hadis.
Sejarah Imam 10/12
Imam Ali Al-Hadi An-Naqi as
(10)
Nama : Ali Gelar : al-Hadi,
al-Naqi Julukan : Abu al-Hasan al-Tsaalits Ayah : Muhammad Al-Jawad lbu :
al-Maghrabiah Tempat/Tgl : Madinah, 15 Dzul-Hijjah/5 Rajab 212 H. Hari/Tgl
Wafat : Senin, 3 Rajab 254 H
Umur :
41Tahun Sebab Kematian : Diracun Al-Mu'tamad al-Abbasi Makam : Samara Jumlah
Anak : 5 orang; 4 Laki-Laki dan Perempuan Anak Laki-laki : Abu Muhammad al-Hasan,
al Husein, Muhammad, Ja’far Anak Perempuan : Aisyah
Riwayat Hidup
Keberadaan seorang Imam sangat
penting dalam menjaga kelestarian syariat serta kelangsungan peradaban sejarah.
Mereka haruslah orang yang paling utama dalam
bidang keilmuan, pemikiran dan
politik, karena mereka adalah pemimpin bagi umat yang akan membimbing dan
menyelesaikan segala permasalahan. Adanya keimamahan ini tidak lain merupakan
kasih sayang ilahi terhadap umat manusia.
Dari kota risalah dan dari
silsilah keluarga teragung dan termulia, lahirlah Ali al-Hadi bin Imam Muhammad
al- Jawad. lbunya, Sumanah (al-Maghrabiah), merupakan se-orang Wanita yang
shalihah. Imam Ali al-Hadi berada di bawah pemeliharaan dan pendidikan ayahnya
sendiri. Tak syak lagi jika beliau kemudian menjadi panutan dalam akhlak,
kezuhudan. ibadah, keilmuan dan kefaqihannya.
Bukan hanya karena kelebihannya
saja yang menyebabkan beliau pantas menjadi Imam. namun penunjukan dari Imam
sebelumnya atas titah Ilahi juga menjadi atasan kei- mamahannya. Semua orang,
ulama, penguasa, mengetahui dengan jelas keimamahannya. Tampaknya itulah yang
melahirkan pertentangan antara Muawiyah dengan Imam Ali a.s. dan Imam Hasan
a.s, pertentangan Imam Husein dengan Yazid bin Muawiyah; pertentangan Hisyam
bin Abdul Malik dengan Imam Muhammad al-Baqir a.s. dan Imam Ja'far as- Shadiq
a.s, antara Abu Ja'far al-Manshur dengan Imam Ja'far Shadiq a.s, antara Harun
ar-Rasyid dengan Imam Musa al-Kazim a.s, antara al-Makmun dengan Imam Ali
ar-Ridha a.s., antara Muktasim dengan Imam Muhammad; Imam Ali Hadi an-Naqi a.s.
al-Jawad a.s., antara al-Mutawakkil dengan lmam Ali al-Hadi a.s.
Masa keimamahan Ali al-Hadi
adalah masa yang sarat dengan berbagai kerusakan, kejahatan serta merosotnya
ekonomi rakyat akibat banyaknya pajak serta sulitnya keadaan. Beliau hidup
semasa dengan Muktasim, al-Wasiqbillah, al- Mutawakkil, al-Muntasir,
al-Musta’in dan al-Mu'taz.
Al-Muktasim merupakan salah
seorang penguasa Bani Abbasiyah yang kehidupannya di isi dengan
pelanggaran-pelanggaran terhadap syariat Allah, seperti meminum-minuman keras,
suka tari-tarian serta pembunuhan terhadap pengikut Ahlul Bait. Dizamannyalah
ayahanda Ali al-Hadi, wafat karena diracun. Hingga akhirnya al-Muktazim mati
dengan berlumuran dosa dan berlumuran darah para pengikut Ahlul Bait. Setelah
kematian Al-Muktasim 227 H, kekuasaan beralih ke tangan al-Wasiqbillah
Penderitaan para pengikut Ahlul
Bait sedikit berkurang di zaman al-Wasiqbillah. Namun walau bagaimanapun,
keadaan sosial dan politik tetap tidak mendukung penyebaran misi Ahlul Bait.
Selama 5 tahun 7 bulan al-Wasiqbillah memegang tampuk kekuasaan dan setelah
kematiannya kekuasaan beralih ke tangan al-Mutawakkil. Dalam sikap
permusuhannya terhadap Ahlul Bait, Mutawakkil lak ada bandingannya di antara
raja Abbasiah. Dia tak segan-segan merampas, menganiaya, bahkan membunuh
siapapun yang dianggap setia kepada Ahlul Bait. Sedang keturunan Rasulullah
saww, baik yang di Hijaz atau yang di Mesir, kehidupannya sangat
memperihatinkan.
Rakyat tidak diperkenankan sedikitpun untuk membantu neraka,
hingga dikisahkan bahwa baju yang dipakai kaum wanita Fatimiyah, hanyalah baju
yang menutupi separuh badan. Kudung tua yang dipakai untuk salat, mereka pake
secara hergantian.
Tidak
cukup hanya memusuhi Ahlul Bait dan keturunan Rasulullah saww serta para
pengikutnya, tapi dia (Mutawakkil) juga sangat memusuhi Imam Ali bin Abi
Thalib, yang dikutuk secara terang-terangan. Di suatu waktu dia memerintahkan
seorang pelawaknya untuk mengejek dan menghina Imam Ali bin Abi Thalib di
sebuah jamuan pesta yang diadakannya. Pada tahun 237 H/850 M, dia memerintahkan
untuk meratakan makam Imam Husein a.s. yang ada di Karbala dan beberapa rumah
di sekitarnya.
Pada tahun 243 H/857 M, akibat
tuduhan palsu. al-Mutawakkil memerintahkan salah seorang pejabatnya untuk menyuruh
Imam Ali al-Hadi pindah ke Samarah yang ketetika itu menjadi ibu kota. Dengan
sabar Imam menanggung siksaan dan malapetaka dari Mutawakkil -penguasa
Abbasiyah- sampai akhirnya al-Mutawakkil mati terbunuh saat mabuk dan
digantikan al-Muntasir.
Al-Muntasir menggantikan ayah
andanya sejak 248 H. Dia merupakan salah seorang penguasa yang sangat memusuhi
kebejatan ayahnya (al-Mutawakkil). dan sangat menghormati Ahlul Bait Rasulullah
saww. Walau hanya berkuasa selama 6 bulan. Beliau telah hanyak berlaku baik dan
lemah lembut kepada Bani Hasyim serta tidak pernah meneror apalagi membunuhnya,
bahkan tanah Fadak dikembalikan kepada Ahlul Bait sebagai pemilik yang syah.
Enam bulan setelah berkuasa, beliau wafat dan digantikan oleh al-Musta’in.
Di masa al-Musta'in, kekejaman
dan kesewenang-wenangan kembali merajalela. Pemerintahannya yang kacau dan
kejam, hanya berlangsung 2 tahun 9 bulan. Atas perintah saudaranya (al-Mu'taz),
dia dibunuh dan dipenggal. Kekuasaan beralih ke tangan al-Mu'taz. Dia tidak
kalah kejamnya dengan al-Mutawakkil dan al-Musta'in, dan dizaman inilah Imam
dipanggil ke "Samara".
Penderitaan, penganiayaan dan
penindasan dihadapi dengan sabar oleh Imam Ali al-Hadi. Akhirnya, beliau harus
pulang ke Rahmatullah melalui racun yang diletakkan pada makanannya oleh
al-Mu'taz. Kesyahidan tersebut terjadi pada tanggal 26 Jumadil Tsani 254 H dan
doa pemakamannya dipimpin oleh putra beliau yaitu Imam Hasan al-Asykari. Ketika
wafat, beliau berusia 42 tahun yang kemudian dimakamkan di Samara.
Sejarah Imam 9/12
Imam Muhammad Al-Jawad as (9)
Nama : Muhammad Gelar :
Al-Jawad, Al-Taqi Julukan : Abu Ja'far Ayah : Ali Ar-Ridha Ibu : Sabikah yang
dijuluki Raibanah Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 10 Rajab 195 H. Hari/Tgl Wafat :
Selasa, Akhir Dzul-Hijjah 220 H. Umur : 25 Tahun Sebab kematian : diracun
istrinya Makam : Al-Kadzimiah Jumlah Anak : 4 Orang; 2 laki-laki dan 2
perempuan Anak Laki-laki : Ali, Musa Anak Perempuan : Fatimah, Umamah
Riwayat Hidup
Ahlul Bait Nabi saww yang akan
kita bicarakan kAli ini adalah Muhammad al Jawad. Beliau adalah putra dan Imam
Ali Ar-Ridha a.s. yang dikenal sebagai orang yang zuhud, alim serta ahli
ibadah. lbunya Sabikah, berasal dari kota Naubiyah. Di masa kanak-kanaknya
beliau dibesarkan, diasuh
dan dididik oleh ayahandanya sendiri selama 4 tahun. Kemudian ayahandanya
diharuskan pindah dari Madinah ke Khurasan.
ltulah pertermuan terakhir antara
beliau dengan ayahnya, sebab ayahnya kemudian mati diracun. Sejak tanggal 17
Safar 203 Hijriah, Imam Muhammad aL-Jawad memegang tanggung jawab keimaman atas
pernyataan ayahandanya sendiri serta titah dari Ilahi.
Beliau hidup di zaman peralihan
antara al-Amin dan al-Makmun. Pada masa kecilnya beliau merasakan adanya
kekacauan di negerinya. Beliau juga mendengar pengangkatan ayahnya sehagai
putra mahkota yang mana kemudian terdengar kabar tentang kematian ayahnya.
Sejak kecil, beliau telah menunjukkan sifal-sifat yang mulia serta tingkat
kecerdasan yang tinggi.
Dikisahkan bahwa ketika ayahnya dipanggil ke Baghdad,
beliau ikut mengantarkannya sampai ke Makkah. Kemudian ayahnya tawaf dan
berpamitan kepada Baitullah. Melihat ayahnya yang berpamitan kepada Baitullah,
beliau akhirnya duduk dan tidak mau berjalan. Setelah ditanya, beliau menjawab:
"Bagaimana mungkin saya bisa meninggalkan tempat ini kalau ayah sudah
berpamitan dengan Bait ini untuk tidak kembali kemari". Dengan
kecerdasannya yang tinggi beliau yang masih berusia empat tahun lebih bisa
merasakan akan dekatnya perpisahan dengan ayahnya.
Dalam bidang keilmuan, beliau
telah dikenal karena seringkali berdiskusi dengan para ulama di zamannya.
Beliau mengungguli mereka semua, baik dalam bidang fiqih, hadis, tafsir dan
lain-lainnya. Melihat kepandaiannya, al-Makmun sebagai raja saat itu, berniat
mengawinkan Imam Muhammad al-Jawad dengan putrinya, Ummu Fadhl.
Rencana ini mendapat tantangan
keras dari kaum kerabatnya, karena mereka takut Ahlul Bait Rasulullah saww akan
mengambil alih kekuasaan. Mereka kemudian mensyaratkan agar Imam dipertemukan
dengan seorang ahli agama Abbasiyah yang bernama Yahya bin Aktsam. Pertemuan
pun diatur, sementara Qodhi Yahya bin Aktsam sudah berhadapan dengan Imam.
Tanya jawab pun terjadi, ternyata pertanyaan Qodi Yahya bin Aktsam dapat
dijawab oleh Imam dengan benar dan fasih. namun pcrtanyaan Imam tak mampu dijawabnya.
Gemparlah semua hadirin yang ikut hadir saat itu. Demikian pula halnya dengan
al-Makmun, juga mersa kagum sembari herkata: "Anda hebat sekali, wahai Abu
Ja'far". Imam pun akhirnya dinikahkan dengan anaknya Ummu al-Hadlil, dan
sebagai tanda suka cita, al-Makmun kemudian membagi-bagikan hadiah secara royal
kepada rakyatnya. Setahun setelah pernikahannya Imam kembali ke Madinah hersama
istrinya dan kembali mengajarkan agama Allah.
Meskipun di zaman al-Makmun,
Ahlul Bait merasa lebih aman dari zaman sebelumnya, namun beberapa
pemberontakan masih juga terjadi. Itu semua dikarenakan adanya
perlakuan-perlakuan yang semena-mena dan para bawahan al-Makmun dan juga akibat
politik yang tidak lurus kepada umat.
Setelah Al-Makmun mati,
pemerintahan dipimpin oleh Muktasim. Muktasim menunjukkan sifat kebencian
kepada Ahlul Bait, seperti juga para pendahulunya. Penyiksaan, penganiayaan dan
pembunuhan terjadi lagi, hingga pemberontakan terjadi dimana-mana dan semua
mengatasnamakan "Ahlul Bait Rasulullah saww".
Melihat pengaruh Imam
Muhammad yang sangat besar ditengah masyarakat, serta kemuliaan dan peranannya
dalam bidang politik, ilmiah serta kemasyarakatan, maka al-Muktasim tidak
berbeda dengan para pendahulunya dalam hal takutnya terhadap keimamahan Ahlul
Bait Rasulullah saww.
Pada tahun 219 H karena
kekhawatirannya al-Muktasim meminta Imam pindah dari Madinah ke Baghdad
sehingga Imam berada dekat dengan pusat kekuasaan dan pengawasan. Kepergiannya
dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang jalan.
Tidak lama kemudian, tepatnya
pada tahun 220 H, Imam wafat melalui rencana pembunuhan yang diatur oleh
Muktasim yaitu dengabn cara meracuninya. Menurut riwayat beliau diracun oleh istrinya
sendiri, Ummu Fadl, putri al-Makmun atas hasutan al-Muktasim.
Imam Muhamad
wafat dalam usia relatiisf muda yaitu 25 tahun dan dimakamkan disamping
datuknya, Imam Musa Kazim, di Kazimiah, perkuburan Qurays di daerah pinggiran
kota Bagdad. Meskipun beliau syahid dalam umur yang relatif muda, namun
jasa-jasanya dalam memperjuangkan dan mendidik umal sangatlah besar sekali..
Sejarah Imam 8/12
Imam Ali Ar-Ridha as (8)
Nama : Ali Gelar : Ar-Ridha
Julukan : Abu al-Hasan Ayah : Musa al-Kadzim Ibu : Taktam yang dijuluki Ummu
al-Banin Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis, 11 Dzulqo'dah 148 H Hari/Tgl Wafat
: Selasa, 17 Shafar 203 H. Umur : 55 Tahun Sebab Kematian : Diracun Makinun
al-Abbasi Makam : Masyhad, Iran Jumlah Anak : 6 orang; 5 Laki-laki dan 1
Perempuan Anak laki-laki : Muhmmad Al-Qani', Hasan, Ja'far, Ibrahim, Husein
Anak perempuan : Aisyah
Riwayat Hidup
"Imam adalah orang yang
menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya".
"Imam adalah seorang yang
berilmu bukan seorang yang bodoh, yang akan membimbing umat bukan membuat
makar".
"Imam itu tinggi ilmunya,
sempurna sifat lemah lembutnya, tegas dalam perintah, tahu tentang politik,
punya hak untuk menjadi pemimpin".
"Sesungguhnya Imam itu
kendali agama dan sistem bagi kaum muslimin serta pondasi Islam yang kokoh.
Dengannya, salat, zakat, puasa dan haji serta jihad menjadi lengkap".
"Imam bertanggung jawab
memelihara Islam, serta mempertahankan syariat, aqidah dari penyimpangan dan
penyesalan".
"Imam bertanggungg jawab
mendidik. umat, karenanya harus bersifat memiliki ilmu, tabu tentang situasi
dan kondisi sosial, politik dan kepemimpinan".
Tulisan di atas merupakan
sedikit penjelasan tentang makna keimaman yang dikernukakan Ali bin Musa
Ar-Ridha a.s.
Beliau adalah pewaris
keimamahan setelah ayahnya, Musa al-Kazim a.s. yang wafat diracun oleh Harun
Ar-Rasyid. lbunya, Taktam yang dijuluki Ummu al-Banin dia adalah seorang yang
shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali
ar-Ridha a.s, Imam Musa memberinya nama at-thahirah. Imam Ali ar-Ridha a.s
hidup dalam bimbingan, pengajaran dan didikan ayahnya selama tiga puluh lima
tahun.
Sejarah menjadi saksi nyata bahwa para Imam Ahlul Bait ini sangat utama
dalam kedudukannya yang sekaligus merupakan rujukan
bagi kaum muslimin dalam setiap permasalahan. Begitu juga Imam Ali ar-Ridha
yang tumbuh dalam didikan ayahnya pantas menjadi seorang Imam serta mursyid
(guru penunjuk) yang akan memelihara madrasah Ahlu Bait Nabi dan menduduki
posisi kepemimpinan di mata kaum muslimin.
Begitulah, setiap Imam akan
dibimbing oleh Imam sebelumnya dan setiap Imam akan memperkenalkan dan
menunjukkan identitas Imam yang akan menggantikannya, agar kaum muslimin tidak
kebingungan tentang siapa penerus misinya guna merujuk kepadanya dalam mencari
pengetahuan tentang syariat Islam, menimba ilmu dan ma'rifat serta mengikuti
kepemimpinan dan pentunjuknya.
Di zaman Ali ar-Ridha a.s.
bidang ilmu, kegiatan penelitian, penulisan buku dan pendukumentasian telah
berkembang pesat. Di masa ini juga hidup As-Syafi'i, Malik bin Anas, As-Tsauri,
As-Syaibani, Abdullah bin Mubarok dan berbagai tokoh-tokoh ilmu pengelahuan
syariat dan logika serta kemasyarakatan. Mengenai situasi sosial saat itu,
siapapun yang mengkaji akan mengetahui bahwa kehidupan islam yang dipimpin al
Mahdi, al-Hadi, ar-Rasyid, al-Amin dan al-Makmun adalah kehidupan yang sarat
dengan kefoya-foyaan, penuh dengan budak-budak perempuan, para penyanyi, penari
dan gelas-gelas khomer.
Ribuan juta dinar dan dirham dihambur-hamburkan
sementara rakyat hidup dalam penekanan, pajak yang tinggi serta kelaparan dan
berbagai teror yang ditujukan kepada mereka. Di saat seperti inilah Imam Ahlul
Bait menunjukkan sikap ramahnya kepada kaum tertindas yang hidup dalam serba
ketakutan serta menyerukan perbaikan dan perubahan yang sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam. Karenanya, mereka mengalami penyiksaan, pengejaran,
pemenjaraan pembunuhan. Sedang situasi politik saat itu, setelah Harun
Ar-Rasyid meracuni ayahnya dia masih hidup beberapa tahun bersama Iman Ali
Ar-Ridha. Perlakuan Harun Ar-Rasyid kepada Imam Ali ar-Ridha tidak seperti
perlakuan terhadap ayahnya.
Sebelum Harun ar-Rasyid
meninggal, dia membagi negeri kekuasaannya di antara ketiga orang anaknya;
al-Amin, al-Makmun, al-Qosim. Situasi politik dan perekonomian mengalami
kemerosotan yang tajam. Sementara itu, Imam Ali Ridha mempunyai pengaruh yang
besar terhadap para pengikutnya.
Untuk mengantisipasi keadaan itu dan sekaligus
memadamkan adanya beberapa pemberontakan dari kaum Alawiyin, al-Makmun kemudian
mengumurnkan rencananya untuk mengangkat Imam Ali Ridha sebagai putra mahkota
sepeninggalnya. Walaupun rencana itu mendapat tantangan yang keras dari pihak
keluarganya, namun dia tetap bersikeras untuk mempertahankan rencananya.
Kemudian dia mengirim utusan kepada Imam Ridha dan memintanya agar datang ke
Khurasan untuk bermusyawarah berkenaan dengan pengangkatan beliau sebagai putra
mahkota. Dengan terpaksa Imam Ali Ridha a.s. memenuhi panggilan itu. Setelah
sampai di tempat al-Makrnun, rombongan kemudian ditempatkan di sebuah rumah,
sedang Imam Ridha a.s., di tempatkannya di sebuah rumah tersendiri.
Akhirnya, al-Makmun menuliskan
nash baiat untuk Imam Ridha a.s. dengan tangannya sendiri, dan Imam pun menanda
tangani nash baiat, yang menyatakan bahwa beliau menerima pengangkatan dirinya
sebagai putra mahkota.
Sejarah berbicara lain,
al-Makmun bukan orang yang tidak suka kedudukan. Dia telah membunuh saudaranya
al-Amin dan juga membunuh orang-orang yang telah mengabdi kepada saudaranya dan
juga ayahnya, seperti Thahir bin Husain, al-Fadhl bin Sahl dan lain-lain yang telah
berjasa dalam mengukuhkan pemerintahannya, maka bukan juga hal yang mustahil
jika dia akhirnya menyusun siasat untuk membunuh Imam dengan cara meracuninya.
Imam Ridha a.s. syahid pada
hari terakhir bulan Safar tahun 203 Hijriah di kota Thus (Masyhad) dan
dimakamkan disana juga, di rumah Humaid bin Qahthabah di sisi kuburan Harun
ar-Rasyid pada arah kiblat. Sekarang, makam beliau merupakan makam yang sangat
menonjol, yang dikunjungi oleh jutaan peziarah yang berdesak-desakan di
sekelilingnya. Kota di mana beliau di makamkan telah menjadi kota yang besar di
Republik Islam Iran. Letaknya berbatasan dengan Rusia.
Ia merupakan kota yang indah dan ramai. Di dalam nya terdapat
perkumpulan-perkumpulan ilmiah dan sekotah agama.
Sejarah Imam 7/12
Imam Musa Al-Kadzim as (7) Nama
: Musa Gelar : Al-Kadzim Julukan : Abu Hasan Al-Tsani Ayah : Ja'far Shodiq Ibu
: Hamidah AL-Andalusia Tempat/Tgl Lahir : Abwa' Malam Ahad 7 Shofar 128 H.
Hari/Tgl Wafat : Jum'at 25 Rajab 183 H. Umur : 55 Tahun Sebab Kematian :
Diracun Harun Ar-Rasyid Makam : Al-Kadzimiah
Riwayat Hidup
Untuk yang kesekian kalinya
keluarga Rasulullah dibahagiakan atas kelahiran seorang manusia suci, pilihan
Allah demi kelestarian hujjahnya yaitu Musa bin Ja'far. Beliau dilahirkan pada
hari Ahad 7 Shafar 128 H di kota Abwa' antara Makkah dan Madinah.
Ayahnya begitu gembira dengan
kelahiran putranya ini hingga beliau berucap: "Aku berharap tidak
memperoleh putra lain selain dia sehingga tidak ada yang membagi cintaku
padanya". Ayahnya, Imam Ja'far As-Shadiq, telah mengetahui bahwa bayi
tersebut akan menjadi orang besar dan mempunyai kedudukan yang mulia yaitu
sebagai calon Imam, pemimpin spiritual yang akan menjadi penerus Ahlul Bait
dalam berhidmat untuk risalah Allah SWT yang dipercayakan kepada kakeknya Muhammad
saww.
Beliau dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Hamidah, seorang wanita
berkebangsaan Andalusia (Spanyol). Sejak masa kecilnya beliau telah menunjukkan
sifat kepandaiannya. Pada suatu saat Abu Hanifah datang ke kediaman Imam Ja'far
As-Shadiq untuk menanyakan suatu masalah. Pada waktu itu Imam Ja'far As-Shadiq
a.s. sedang istirahat lalu Abu Hanifah bertanya kepada anaknya, Musa Al-Kadzim
yang pada waktu itu berumur 5 tahun. Setelah mengucapkan salam beliau bertanya:
Bagaimana pendapat Anda tentang perbuatan-perbuatan seorang manusia? Apakah dia
melakukan sendiri atau Allah yang mejadikan dia berbuat seperti itu?
"Wahai Abu Hanifah! Imam berusia 5 tahun tersebut menjawab dengan gaya
seperti para leluhurnya,: "perbuatan-perbuatan seorang manusia dilahirkan
atas tiga kemungkinan.
Pertama, Allah sendiri yang
melakukan sementara manusia benar-benar takberdaya. Kedua, Allah dan manusia
sama-sama berperan atas perbuatan-perbuatan tersebut. Ketiga, manusia sendiri
yang melakukannya. Maka, jika asumsi pertama yang benar dengan jelas
membuktikan ketidakadilan Allah yang menghukum makhIuk-Nya atas dosa-dosa yang
mereka tidak lakukan. Dan jika kondisi yang kedua diterima, maka Allahpun tidak
adil kalau Dia menghukum manusia atas kesalahan-kesalahan yang di dalamnya
Allah sendiri bertindak sebagai sekutu. Tinggal alternatif yang ketiga, yakni
bahwa manusia sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka
sendiri".
Mengenai situasi politik di zaman beliau hampir sama dengan
zaman sebelumnya. Beliau hidup dalam zaman yang paling kritis di bawah
raja-raja zalim dari Bani Abbas. Beliau hidup di zaman Al-Manshur, Al-Mahdi,
Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Di masa Imam Musa masih berusia 5 tahun. Telah
terjadi sebuah peristiwa besar yaitu runtuhnya Dinasti Umayyah dan bangkitnya
Dinasti Abbasyiah. Bani Abbasiyah juga tidak kalah dalam perbuatan jahatnya.
Kedudukan jadi rebutan di saat itu, sementara istana dipenuhi dengan
gundik-gundik dan harta. Tari-tarian serta lagu dan syair menjadi hiasan istana
Bani Abbasyiah, kejahatan mereka merajalela dan dekadensi moral hampir merata
dimana-mana. Nasib keluarga Imam Musa a.s. (Al-Alawiyin) teraniaya di zaman
ini.
Di
zaman Al-Manshur mereka dipenjarakan tanpa diberi makan, sebagian lagi diusir
dari rumah-rumahnya dan yang lain dibunuh. Penguburan hidup-hidup bukan
merupakan pemandangan yang baru lagi di zaman ini. Kebiadaban Al-Manshur tidak
berlangsung lama pada tanggal 3 Dzulhijjah158 H, dia mati lalu digantikan oleh
anaknya Al-Mahdi. Al-Mahdi memerintah sejak 3 Dzulhijjah 158-22 Muharam 169.
Di
masa pemerintahannya, Imam Musa pernah dipenjarakan di Baghdad yang kemudian
dibebaskan lagi. Walau penekanan dan kejahatan tidak dapat dielakkan lagi,
namun penderilaan Ahlul Bait tidaklah separah di zaman Al-Manshur. Setelah
beberapa tahun, Al-Mahdi juga meninggal dunia dan sejak 22 Muharram 169 H,
anaknya, Al-Hadi, menggantikan posisi ayahnya sebagai raja Bani Abbas.
Dia
terkenal kejam dan bengis sekali. Pada masa pemerintahan-nya terjadi sebuah
pemberontakan yang bernama "Fakh", yang dipimpin Al-Husein bin Ali
bin Al-Hasan bin Al-Husein bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pemberontakan
Fakh yang dipimpin oleh Husein bin Ali sama seperti kejadian
"Karbala". Keluarga Bani Hasyim disertai beberapa pengikutnya yang
kescluruhannya berjumlah 200 orang dipaksa menghadapi musuh yang berjumlah
beberapa kali lipat. Peperangan itu tidak berlangsung lama pasukan Bani Hasyim
yang dipimpin Al-Husein bin Alibin Hasan akhirnya kalah dan porak poranda,
kemudian mereka semua dipenggal dan anggota tubuhnya dipisah-pisah. Tidak cukup
sampai di sini rumah-rumah mereka dibakar dan pasukan al-Hadi kemudian merampas
harta dari keluarga para syuhada’ yang syahid dalam membela kebenaran.
Pemerintahan al-Hadi hanya berlangsung 1 tahun dan pada tahun 170 H, Harun
Al-Rasyid naik tahta dan menjadi penguasa dari Bani Abbas.
Kebijaksanaan politik Harun
al-Rasyid tidak berbeda dengan zaman al-Hadi. Dia tidak segan-segan membunuh
puluhan orang hanya karena adanya suatu fitnahan. Sehingga dia diberi julukan
"pedangnya lebih cepat dan pembicaraannya". Kami akan memberi sebuah
contoh dan kejahatannya, yaitu di suatu waktu dia memanggil Humaid bin
Qahtbabah dan menanyainya tentang ketaatannya kepada Amirul Mukminin.
Humaid
menyatakan kesiapannya melaksanakan segala yang diperintahkan kepadanya. Ketika
Harun Al-Rasyid merasa yakin akan loyalitasnya terhadap istana Abbasiyah dan
kesanggupannya untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid menyuruh seseorang
khadam (pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid pergi ke
sebuah rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur. Di
rumah itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika khadam tersebut
mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar yang
terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang alawiyin dan
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww. Mereka terdiri
dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat
rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan
memasukkan jasad mereka ke dalam sumur. Humaid pun melaksanakan perintah
tersebut dengan baik. Kemudian pintu kedua dibuka dan di situ ditemukan pula
tawanan sejumlah itu. Kembali khadam itu menyuruh Humaid membunuh mereka dan
memasukkan jasad-jasad mereka ke dalam sumur, dan Humaid pun melaksanakan
perintah tersebut. Pintu ketiga dibuka pula dan di situ terdapat sejumlah itu.
Lagi-lagi khadam itu menyuruh melakukan hal sama, dan Humaid pun menaatinya.
Kisah memilukan ini sebenarnya
tertutup rapat-rapat dalam laci para pelakunya. Namun Humaid bin Qahthabah
membukanya ketika dia merasa bahwa dirinya telah melakukan kejahatan besar
telah kehilangan nilai-nilai kemanusiaan sehingga pesimis untuk mendapat rahmat
Allah SWT. Dalam situasi yang mencekik seperti inilah imam hidup dan berdakwah
kepada rakyat di sekitarnya
Melihat pengaruh besar beliau
di tengah-tengah pendukungnya, Harun al-Rasyid merasa cemas dan kemudian
memenjarakan beliau tanpa atasan dan bukti apapun. Di dalam penjara inilah
waktunya dihabiskan untuk beribadah dan berdakwah di sana. Suatu ketika Harun
al-Rasyid memerintah pengawalnya untuk memasukkan jariah yang cantik ke dalam
sel Imam, guna merayu dan menjatuhkan martabatnya.
Selang beberapa waktu
ternyata Jariah yang cantik itu telah sujud bersama imam serta diriwayatkan
bahwa hingga akhir hayatnya jariah tersebutmenjadi
wanita yang shalehah. Segara cara telah ditempuh, namun imam tetap pada
posisinya yang mulia.
Akhirnya, Harun Al-Rasyid tidak
punya pilihan lain kecuali membunuhnya. Sanadi bin Sahik yang terkenal bengis
dan ingin mendapatkan kedudukan di sisi penguasa Bani Abbas segera menawarkan
diri untuk menjadi pelaksana rencana pembunuhan tersebut. Dia kemudian
meletakkan racun yang mematikan dalam makanan Imam Musa Al-Kazim. Tak pelak
lagi, racun tersebut menjalar ke seluruh tubuh imam, dan imam pun menghembuskan
nafasnya yang terakhir.
Jenazahnya dibiarkan tergeletak
dipenjara selama tiga hari yang kemudian dibuang di jembatan al-Karkh, di kota
Baghdad. Mendengar berita tentang jenazah imam yang diletakkan di jembatan dan
dijadikan bahan olokan oleh pengawal Sanadi bin Sahik, Sulaiman bin Ja’far
Al-Manshur kemudian mengambil jenazah tersebut lalu memandikan, mengkafaninya
dan melumuri wewangian serta menshalati dan menguburkannya.
Belum pernah ada di Baghdad
seseorang yang dikubur yang di hadiri oleh lautan manusia seperti halnya ketika
penguburan imam di pemakaman Quraiys. Bintang Ahlu Bait telah pergi untuk
selamanya. Kota Baghdad seakan gelap dan gulita, sementara Mûsa bin Ja'far
telah pergi dalam keadaan mulia dan terpuji.
Salam sejahtera untukmu di saat
kau dilahirkan dan salam untukmu di saat kau dalam kegelapan penjara serta
salam sejahtera bagimu saat kau dibangkitkan kelak sebagai orang yang syahid.
Sejarah Imam 6/12
Imam Ja’far Ash-Shadiq as (6)
Nama : Ja'far Gelar :
Ash-Shadiq Jlillikan : Abu Abdillah Ayah : Muhammad al-Baqir lbu : Fatimah
Tcmpat/Tgl Lahir : Madinah, Senin 17 Rabiul Awal 83 H. Hari/Tgl Wafat : 25
Syawal 148 H. Umur : 65 Tahun Sebab Kematian : Diracun Manshur al-Dawaliki
Makam : Baqi', Madinah Jumlah Anak : 10 orang; 7 laki-laki, 3 perempuan Anak
Laki-laki : Ismail, Abdullah, al-Afthah, Musa al-Kadzim, Ishaq, Muhammad
al-Dhibbaja, Abbas, Ali Anak Perempuan : Fatimah, Asma, Ummu Farwah
Riwayat Hidup
Imam Ja'far Ash-Shodiq a.s.
adalab anak dari Imam Muhammad al-Baqir bin As Sajjad bin Imam Husein As-Syahid
bi karbala, shalawatullah wasalamuhu alaihim aj-main.Beliau dilahirkan di
Madinah al-Munawwarah, di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Dinasti
Umayyah.
Kehidupannya sarat dengan keilmuan dan ketaatan kepadaTuhan, sebab
sejak kecilnya hingga selama sembilan belas tahun, beliau bernaung di bawah
asuhan dan didikan ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir. Setelah kepergian ayahnya
yang syahid, maka sejak tahun 114 H beliau menggantikan posisi ayahnya sebagai
pemimpin spiritual yang juga marji' dalam segala bidang ilmu atas pilihan Allah
dan Rasul-Nya.
Situasi politik di zaman Ja'far As-Shadiq a.s. sangat
menguntungkan beliau. Sebab di saat itu terjadi pergolakan politik di antara
dua kelompok yaitu Bani
Umayyah dan Bani Abbasiah yang saling berebut kekuasaan. Dalam situasi politik
yang labil inilah Imam Ja'far As-Shadiq a.s. mampu menyebarkan dakwah Islam
dengan lebih leluasa. Dakwah yang dilakukan beliau meluas ke segenap penjuru,
sehingga digambarkan murid beliau berjumlah empat ribu orang, yang terdiri dari
para ulama, para ahli hukum dan bidang lainnya seperti, Jabir bin Hayyan
At-Thusi, seorang ahli matematika, Hisyam bin al-Hakam, Mu'min Thaq seorang
ulama yang disegani, serta berbagai ulama sunni seperti Sofyan ats-Tsauri, Abu
Hanifah (pendiri mazbab hanafi) al-Qodi As-Sukuni dan lain-lain.
Seperti yang digambarkan di
atas bahwa di zaman Imam Ja'far terjadi pergolakan politik. Rakyat sudah jenuh
berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah dan muak melihat kekejaman dan
penindasan yang dilakukan mereka selama ini. Situasi yang kacau dan
pemerintahan yang mulai goyah dimanfaatkan oleb golongan Abbasiah yang juga
berambisi kepada kekuasaan. Kemudian mereka berkampanye dengan berkedok sebagai
"para penuntut batas dan bani Hasyim".
Bani Umayyah akhirnya tumbang
dan Bani Abbas mulai membuka kedoknya serta merebut kekuasaan dan Bani Umayyah.
Kejatuhan Bani Umayyah serta munculnya Bani Abbasiah membawa babak baru dalam
sejarah. Selang beberapa waktu ternyata Bani Abbas memusuhi Ahlu Bait dan
membunuh pengikutnya. Imam Ja'far juga tidak luput dari sasaran pembunuban.
Pada 25 Syawal 148 H, al-Manshur membuat Imam Syahid dengan meracunnya.
"Imam Ja'far ibn Muhammad, putra Imam kelima, lahir pada tahun 83 H/702 M.
Dia wafat pada tahun 148 H/757 M, dan menurut riwayat kalangan Syiah diracun
dan dibunuh karena intrik al-Manshur, khalifah Dinasti Abbasiyah. Setelah
ayahnya wafat dia menjadi Imam keenam atas titah ilahi dan fatwa para
pendahulunya ( Thabathaba'i dalam "Islam Syiah (Asal-Usul dan
Perkembanganny hal 233-234-235).
Selama masa keimaman Imam ke-6
terdapat kesempatan yang lebih besar dan iklim yang menguntungkan baginya untuk
mengembangkan ajaran-ajaran agama. Ini dimungkinkan akibat pergolakan di
berbagai negeri Islam, terutama bangkit-nya kaum Muswaddah untuk menggulingkan
kekhalifahan Bani Umayyah, dan perang berdarah yang akhirnya membawa kerutuhan
dan kemusnahan Dinasti Umayyah.
Kesempatan yang lebih besar bagi ajaran kaum
Syiah juga merupakan hasil dari landasan yang menguntungkan, yang diciptakan
Imam ke-5 selama 20 tahun masa keimamannya melalui pengembangan ajaran Islam
yang benar dan pengetahuan Ahlu Bait.
Imam telah memanfaatkan
kesempatan ini untuk mengembangkan berbagai pengetahuan keagamaan sampai saat
terakhir dari keimamannya yang bersamaan dengan akhir Dinasti Umayyah dan awal
dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Dia mendidik banyak sarjana dalam berbagai
lapangan ilmu pengetahuan aqliah (intelektual) dan naqliah (agama) seperti
Zararah, Muhammad ibn Muslim, Mukmin Thaq, Hisyam ibn Hakam, Aban ibn Taghlib,
Hisyam ibn Salim, Huraiz, Hisyam Kaibi Nassabah, dan Jabir ibn Hayyan, ahli
kimia. Bahkan beberapa sarjana terkermuka Sunni seperti Sofyan Tsauri, Abu
Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Qadhi Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari dan lain-lain,
beroleh kehormatan menjadi murid-muridnya.
Disebutkan bahwa kelas-kelas dan
majelis-majelis pengajaranya menghasilkan empat ribu sarjana hadis dan ilmu
pengetahuan lain. Jumlah hadis yang terkumpul dari Imam ke-5 dan ke-6, lebih
banyak dari seluruh hadis yang pernah dicatat dari Imam lainnya.
Tetapi menjelang akhir
hayatnya, Imam menjadi sasaran pembatasan-pembatasan yang dibuat atas dirinya oleh
al-Manshur, khalifah Disnati Abbasiyah, yang memerintahkan penyiksaan dan
pembunuhan yang kejam terhadap keturunan nabi, yang merupakan kaum Syiah,
hingga tindakan-tindakannya bahkan melampaui kekejaman kaum Umayyah. Atas
perintahnya mereka ditangkap dalam kelompok-kelompok, beberapa dan mereka
dibuang dalam penjara yang gelap dan disiksa sampai mati, sedangkan yang lain
dipancung atau dikubur hidup-hidup atau ditempatkan di bawah atau di antara
dinding-dinding yang dibangun di atas mereka.
Hisyam, khalifah Dinasti Umayyah,
telah memerintahkan untuk menangkap Imam ke-6 dan dibawa ke Damaskus.
Belakangan, Imam ditangkap oleh Saffah, khalifah Dinasti Abbasiyah dan dibawa
ke Iraq.
Akhirnya Al Manshur menangkapnya lagi dan dibawa ke Samarah untuk diawasi dan
dengan segala cara mereka melakukan tindakan lalim dan kurang hormat dan
berkali-kali merencanakan untuk membunuhnya. Kemudian Imam diizinkan kembali ke
Madinah, di mana dia menghabiskan sisa hidupnya dalam persembunyian, sampai dia
diracun dan dibunuh melalui upaya rahasia al-Manshur.
Mendengar berita tewasnya Imam
ke-6, Manshur menulis surat kepada gubenur Madinah, memerintahkan untuk pergi
ke rumah Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta
pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya.
Siapapun yang dipilih oleh
Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya seketika. Tentunya
tujuan Manshur adalah untuk mengakhiri seluruh masalah keimaman dan aspirasi
kaum Syiah. Ketika gubenur Madinah, melaksanakan perintah tersebut, membacakan
pesan terakhir dan wasiatnya, dia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat
orang dan bukan satu orang, untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang
terakhir, yakni khalifah sendiri, gubenur Madinah, Abdullah Aftah, putra Imam
yang sulung, dan Musa, putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana al-Manshur
menjadi gagal".
Meskipun Imam Ja’far telah
syahid, namun peninggalannya, khususnya dalam bidang ilmu, telah membawa babak
baru dalam perkembangan kebudayaan islam
Sejarah Imam 5/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01
Jul 2003 - 12:37 am
Imam Muhammad Al-Baqir as (5)
Nama : Muhammad Gelar :
Al-Baqir Julukan : Abu Ja'far Ayah : Ali Zainal Abidin lbu : Fatimah binti
Hasan Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 1 Rajab 57 H. Hari/Tgl Wafat : Senin, 7 Dzulhijjah
114 H. Umur : 57 Tahun Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin Abdul Malik Makam :
Baqi’, Madinah Jumlah Anak : 8 orang; 6 laki-laki dan 2 perempuan Anak
Laki-laki : Ja’far Shodiq, Abdullah, Ibrahi, Ubaidillah, Reza, Ali Anak
Perempuan : Zainab, Ummu Salamah
Riwayat Hidup
Keimamahan Muhammad Al-Baqir,
dimulai sejak terbunuhnya Ali Zainal Abidin a.s. melalui racun yang mematikan.
Beliau merupakan orang pertama yang nasabnya bertemu antara Imam Hasan dan Imam
Husein yang berarti beliau orang pertama yang bernasab kepada Fatimah
Az-Zahra’, sekaligus dan pihak ayah dan ibu.
Selama 34 Tahun beliau berada
dalam perlindungan dan didikan ayahnya, Ali Zainal Abidin a.s. Selama hidupnya
beliau tinggal di kota Madinah dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk
beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT serta membimbing masyarakat ke
jalan yang lurus.
Mengenal keilmuan dan
ketaatannya, kita simak kata-kata lbnu Hajar al-Haitami, seorang ulama sunni
yang mengatakan: "Imam Muhammad AL-Baqir telah menyingkapkan
rabasia-rahasia pengetahuan
dan kebijaksanaan, serta membentangkan prinsip-prinsip spiritual dan agama. Tak
seorangpun dapat menyangkal kepribadiannya yang mulia, pengetahuan yang
diberikan Allah, kearifan yang dikaruniakan oleh Allah dan tanggung jawab serta
rasa syukurnya terhadap penyebaran pengetahuan.
Beliau adalah seorang yang suci
dan pemimpin spiritual yang sangat berbakat. Dan atas dasar inilah beliau
terkenal dengan gelar al-baqir yang berarti pengurai ilmu. Beliau baik hati,
bersih dalam kepribadian, suci jiwa, dan bersifat mulia. Imam mencurahkan
seluruh waktunya dalam ketaatan kepada Allah (dan mempertahankan ajaran-ajaran
nabi suci dan keturunannya). Adalah di luar kekuasaan manusia untuk menghitung
pengaruh yang mendalam dan ilmu dan bimbingan yang diwariskan oleh Imam pada
hati orang-orang beriman. Ucapan-ucapan beliau tentang kesalehan, pengetahuan
dan kebijaksanaan, amalan dan ketaatan kepada Allah, begitu banyak sehingga isi
buku ini sungguh tidak cukup untuk meliput semuanya itu".
Beliau menipakan salah seorang
imam yang bidup di zaman yang bukan zaman Rasullah saww, namun jauhnya jarak
waktu antara beliau dan Rasulullah bukan merupakan atasan untuk merasa jauh
dengan beliau saww. Diriwayatkan: "Suatu kali Jabir bin Abdullah al-Anshori
bertanya kepada Rasulullah saww: Ya Rasulullah, siapakah imam-imam yang
dilahirkan dan Ali bin Abi Thalib? Rasulullah saww menjawab, Al-Hasan dan
Al-Husein, junjungan para pemuda ahli surga, kemudian junjungan orang-orang
yang sabar pada zamannya, Ali ibn al-Husein, lalu al-Baqir Muhammad bin Alî,
yang kelak engkau ketahui kelahirannya, Wahai Jabir. Karena itu, bila engkau
nanti bertemu dengannnya, sampaikanlah salamku kepadanya".
Mengenai situasi pemerintahan
yang terjadi di zaman beliau, dua tahun pertama dipimpin oleh Al-Walid bin
Abdul Malik yang sangat memusuhi keluarga nabi dan dialah yang memprakarsAl
pembunuhan Ali Zainal Abidin a.s. Dua tahun berikutnya beliau juga hidup
bersama raja Sulaiman bin Abdul Malik yang sama jahat dan durjananya dengan
selainnya, yang seandainya dibandingkan maka dia jauh lebih bejat dari penguasa
Bani Umayyah yang sebelumnya.
Kemudian tampuk kepemimpinan berpindah ke tangan
Umar bin Abdul Aziz, seorang penguasa Bani Umayyah yang bijaksana dan lain dari
selainnya. Beliaulah yang menghapus kebiasaan melaknat Imam Ali bin Abi Thalib
di setiap mimbar Jum'at, yang diprakarsai oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan
telah berjalan kurang lebih 70 tahun. Beliau pula yang mengembalikan tanah
Fadak kepada Ahlu Bait Nabi yang pada waktu itu diwakili Imam Muhammad aL-Baqir
(AL-Khishal. Jilid 3. Najf Al-Asyraf). Namun sayang beliau tidak berumur
panjang dan pemerintahannya hanya berjalan tidak lebih dari dua tahun lima
bulan. Pemerintahan kemudian beralih ke tangan seorang pemimpin yang laim yaitu
Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan.
Pemerintahan Hisyam diwarnai
dengan kebejatan moral serta pengejaran dan pembunuhan terhadap para pengikut
Ahlu Bait. Zaid bin Ali seorang keluarga rasul yang Alim dan syahid gugur di
zaman ini. Hisyam kemudian memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan
markas-markas Islam yang dipimpin oleh Imam Baqir a.s. Salah seorang murid Imam
al-Baqir yang bernama Jabir al-Ja'fi juga tidak luput dari sasaran pembunuhan.
Namun, demi keselamatannya Imam Muhammad al-Baqir menyuruhnya agar pura-pura
gila. Beliau pun menerima saran dari Imam dan selamat dari ancaman pembunuhan,
karena penguasa setempat mengurungkan niatnya setelah yakin bahwa Jabir
benar-benar gila.
Ketika semua makar dan
kejahatan yang telah ditempuh untuk menjatuhkan Imam Muhammad AL-Baqir tidak
berhasil, sementara orang-orang semakin yakin akan keimamahannya, maka Bani
Umayyah tidak punya alternatif lain kecuali pada tanggal 7 Zulhijjah 114 H,
ketika Imam Baqir berusia 57 tahun, Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan si
penguasa yang zalim, menjadikan imam syahid dengan meracuninya, dan jenanahnya
dibaringkan di Jannatul Baqi' Madinah.
Ahlul Bait Nabi saww berguguran
satu demi satu demi mengharap ridha dari Allah SWT. Semoga salam dilimpahkan
kepada mereka ketika mereka dilahirkan, di saat mereka berangkat menghadap
Tuhannya, dan saat dibangkitkan kelak.
Sejarah
Imam 4/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01
Jul 2003 - 12:37 am
Riwayat Hidup
Imam Ali Zainal Abidin as (4)
Nama : Ali Gelar : Zainal
Abidin, As-Sajjad Julukan : Abu Muhammad Ayah : Husein bin Ali bin Abi Thalib
Ibu : Syahar Banu Tempat/Tgl Lahir : Madinah, 15 Jumadil Ula 36 H. Hari/Tgl
Wafat : 25 Muharram 95 H. Umur : 57 Tahun Sebab Kematian : Diracun Hisyam bin
Abdul Malik, di Zaman al-Walid Makam : Baqi' Madinah Jumlah Anak : 15 orang; 11
Laki-Laki dan 4 Perempuan Anak Laki-laki : Muhammad Al-Baqir, Abdullah, Hasan,
Husein, Zaid, 'Amr Husein Al-Asghor, Abdurrahman, Sulaiman, Ali, Muhammad
al-Asghor Anak perempuan : Hadijah, Fatimah, Aliyah, Ummu Kaltsum
Riwayat hidup
Setelah kejadian
"karbala", Ali Zainal Abidin a.s. menjadi pengganti al-Husein sebagai
pemimpin umat dan sebagai penerima wahiat Rasul yang ke-empat. Ketika Imam Ali
bin Abi Thalib memegang kendali pemerintahan, beliau menikahkan al-Husein
dengan seorang pultri Yazdarij, anak Syahriar, anak kisra, raja terakhir
kekaisaran Persia yang bernama Syahar Banu. Dari perkawinan yang mulia inilah
Imam Ali Zainal Abidin a.s. dilahirkan.
Dua tahun pertama di masa
kecilnya, beliau berada dipangkuan kakeknya, Ali bin Abi Thalib. Dan setelah
kakeknya berpulang ke rahmatullah beliau diasuh pamannya al-Hasan, selama
delapan tahun. Beliau mendapat perlakuan yang sangat istimewa dari pamannya.
Sejak masa kecilnya beliau
telah menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji. Keutamaan budi, ilmu
dan ketaqwaan telah menyatu dalam dirinya. al-Zuhri berkata: "Aku tidak
menjumpai seorangpun dari Ahlul Bait nabi saww yang lebih utama dari Ali bin
Husein.
Beliau dijuluki as-sajjad,
karena banyaknya bersujud. Sedang gelar Zainal Abidin (hiasannya orang-orang
ibadah) karena beliau selalu beribadah kepada Allah SWT. Bila akan shalat
wajahnya pucat, badannya gemetar. Ketika ditanya: Mengapa demikian? Jawabannya:
"Kamu tidak mengetahui di hadapan siapa aku berdiri shalat dan kepada
siapa aku bermunajat".
Setelah kesyahidan al-Husein
beserta saudara-saudaranya, beliau sering kali menangis. Tangisannya itu
bukanlah semata-mata hanya karena kematian keluarganya, namun karena perbuatan
umat Muhammad saww yang durjana dan aniaya, yang hanya akan menyebabkan
kesengsaraan mereka di dunia dan di akhirat. Bukankah Rasulullah saww tidak
meminta upah apapun kecuali agar umatnya mencintai keluarganya. Sebagaimana
firman Allah (as-Syura 23). "Dan bukti kecintaan kita kepada keluarganya
adalah dengan mengikuti mereka."
Di saat keluarganya telah
dibantai, sementara penguasa setempat sangat memusuhinya, misalnya di zaman
Yazid bin Muawiyah beliau dirantai dan dipermalukan di depan umum, di zaman
Abdul Malik raja dari Bani Umayyah beliau dirantai lagi dan dibawa dan Damaskus
ke Madinah lalu kembali lagi ke Madinah, Akhirnya beliau banyak menyendiri
serta selalu bermunajat kepada khaliqnya.
Amalannya dilakukan secara
tersembunyi. Setelah wafat, barulah orang-orang mengetahui amalannya.
Sebagaimana datuknya, Ali bin Abi Thalib, beliau memikul tepung dan roti
dipunggungnya guna dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga fakir miskin di
Madinah.
Dalam pergaulannya, beliau
sangat ramah bukan hanya kepada kawannya saja melainkan juga kepada lawannya.
Dalam bidang ilmu serta pengajaran, meskipun yang berkuasa saat itu al-Hajjaj
bin Yusuf As-Tsaqofi seorang tiran yang kejam yang tidak segan-segan membunuh
siapapun yang membela keluarga Rasulullah saww, beliau masih sempat memberikan
pengajaran dan menasehati para penguasa.
Namun, apapun yang
dilakukannya, keluarga Umayyah tidak akan membiarkannya hidup dengan tenang.
Dan pada tanggal 25 Muharram 95 Hijriah, ketika beliau berada di Madinah,
Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan meracuni Imam Ali Zainal Abidin a.s.
Keagungan beliau sulit
digambarkan dan kata-katanya bak mutiara yang berkilauan. Munajat beliau
terkumpul dalam sebuah kitab yang bernama "Shahifah As-Sajjadiah
Sejarah Imam 3/12
Nama : Husain Gelar : Sayyidu
Syuhada', As-Syahid bi Karbala Julukan : Aba Abdillah Ayah : Ali bin Abi
Thalib. lbu : Fatimah Az-Zahra Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Kamis 3 Sya'ban 3 H.
Hari/Tg] Wafat : Jum 'at 10 Muharram 61 H. Umur : 58 Tahun Sebab Kematian :
Dibantai di Padang Karbala Makam : Padang Karbala Jumlah anak : 6 orang; 4
laki-laki dan 2 perempuan Anak laki-laki : Ali Akbar, Ali al-Autsat, Ali
al-Asghar, dan Ja’far Anak Perempuan ; Sakinah dan Fathimah
Riwayat Hidup
Sabda
Rasulullah saww: "Wahai putraku al-Husein, dagingmu adalah dagingku. dan
darahmu adalah darahku, engkau adalah seorang pemimpin putra seorang pemimpin
dan saudara dari seorang pemimpin, engkau adalah seorang pemimpin spiritual,
putra seorang pemimpin spiritual dan saudara dari pemimpin spiritual. Engkau
adalah Imam yang berasal dari Rasul, putra Imam yang berasal dari Rasul dan
Saudara dari Imam yang berasal dari Rasul, engkau adalah ayah dari semua Imam,
yang ke semua adalah al- Qo'im (Imam Mahdi)." (14 Manusia Suci Hal 92)
Salman al-Farisi r.a.
berkata:"Aku menemui Rasulullah saww, dan kulihat al-Husein sedang berada
di pangkuan beliau. Nabi mencium pipinya dan mengecupi mulutnya, lalu bersabda:
"Engkau seorang junjungan, putra seorang junjungan dan saudara seorang
junjungan; engkau seorang Imam putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam;
engkau seorang hujjah, putra seorang hujah, dan ayah dari sembilan hujjah.
Hujjah yang ke sembilan Qoim mereka yakni Al-Mahdi." (al-Ganduzi, Yanabi’
al Mawaddah)
Berkata Jabir bin Samurrah :
"Saya ikut bersama ayah menemui Nabi saww, lalu saya mendengar beliau
hersabda: "Persoalan lima ini belum akan tuntas sebelum berjalan
pemerintahan 12 (dua belas) khalifah di tengah-tengah mereka". Kemudian
beliau mengatakan sesuatu yang tidak bisa saya dengar. Karena itu, beberapa
waktu kemudian saya bertanya kepada ayah: "Apa yang beliau katakan?".
Nabi mengatakan: "Semua khalifah itu berasal dan kalangan Quraisy".
Jawab ayahku. (Shahih Muslim Jilid 3, Bukhari, Al-Tirmizi dan Abu Daud)
Di tengah kebahagiaan dan
kerukunan keluarga Fathimah Az-Zahra lahirlah seorang bayi yang akan
memperjuangkan kelanjutan misi Rasulullah saww. Bayi itu tidak lain adalah
Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang dilahirkan pada suatu malam di bulan
Sya'ban.
Rasululullah saww bertanya pada
Imam Ali bin Abi Thalib: "Engkau bernama siapa anakku ini?" Saya
tidak berani mendahuluimu wahai Rasulullah". Jawab Ali. Akhirnya
Rasululullah saww mendapat wahyu agar menamainya "Husein". Kemudian
di hari ketujuh, Rasulullah bergegas ke rumah Fatimah Az-Zahra dan menyembelih
domba sebagai aqiqahnya. Lalu dicukurnya rambut al-Husein dan Rasul bersedekah
dengan perak seberat rambutnya yang kemudian mengkhitannya sebagaimana upacara
yang dilakukan untuk Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Sebagaimana Imam Hasan, beliau
juga mendapat didikan langsung dari Rasulullah saww. Dan setelah Rasulullah
meninggal, beliau dididik oleh ayahnya. Hingga akhirnya Imam Ali terbunuh dan
Imam Hasan yang menjadi pimpinan saat itu. Namun Imam Hasan pun syahid dalam
mempertahankan Islam dan kini Imam Husein yang menjadi Imam atas perintah Allah
dan Rasul-Nya serta wasiat dari saudaranya.
Imam Husein hidup dalam kondisi
yang paling sulit. Itu semua merupakan akibat adanya penekanan dan penganiayaan
serta banyaknya kejahatan dan kedurjanaan yang dilakukan Muawiyah. Bahkan yang lebih
fatal lagi, ia menyerahkan ke khalifahan kaum muslimin kepada anaknya Yazid,
yang dikenal sebagai pemabuk, penzina, yang tidak pernah mendapat didikan
Islam, serta seorang pemimpin yang setiap harinya hanya bermain dan berteman
dengan kera-kera kesayangannya.
Hukum-hukum Allah tidak
diberlakukan, sunnah-sunnah Rasululullah ditinggalkan dan Islam yang tersebar
bukan lagi Islamnya Muhammad saww, melainkan Islamnya Muawiyah serta Yazid yang
identik dengan kerusakan dan kedurjanaan. Imam Husein merupakan tokoh yang
paling ditakuti oleh Yazid. Hampir setiap kerusakan yang dilakukannya ditentang
oleh Imam Husein dan beliau merupakan seorang tokoh yang menolak untuk berbaiat
kepadanya. Kemudian Yazid segera menulis surat kepada gubenurnya al-Walid bin
Utbah, dan memerintahkannya agar meminta baiat dari penduduk Madinah secara
umum dan dari al-Husein secara khusus dengan cara apapun.
Melihat itu semua, akhirnya
Imam Husein berinisiatif untuk meninggalkan Madinah. Namun sebelum meninggalkan
Madinah beliau terlebih dahulu berjalan menuju maqam kakeknya Rasulullah
saww, serta shalat didekatnya dan berdoa: "Ya Allah ini adalah kuburan
nabi-Mu dan aku adalah anak dari putri nabi-Mu ini.
Kini telah datang kepadaku
persoalan yang sudah aku ketahui sebelumnya. Ya Allah! Sesungguhnya aku
menyukai yang maruf dan mengingkari yang mungkar, dan aku memohon kepada-Mu,
wahai Tuhan yang Maha Agung dan Maha Mulia, melalui haq orang yang ada dalam
kuburan ini, agar jangan Engkau pilihkan sesuatu untukku, kecuali yang Engkau
dan Rasul-Mu meridhainya" ( Abdul Rozaq Makram, Maqtal al-Hasan hal 147).
Setelah menyerahkan segala
urusannya kepada Allah, beliau segera mengumpulkan seluruh Ahlul-Bait dan
pengikut-pengikutnya yang setia, lalu menjelaskan tujuan perjalanan beliau,
yakni Mekkah.
Mungkin kita bertanya-tanya,
apa sebenarnya motivasi gerakan revolusioner yang dilakukan Imam Husein hingga
beliau harus keluar dari Madinah. Imam Husein sendiri yang menjelaskan
alasannya kepada Muhammad bin Hanafiah dalam surat yang ditulisnya: "Sesungguhnya
aku melakukan perlawanan bukan dengan maksud berbuat jahat, sewenang- wenang,
melakukan kerusakan atau kezaliman. Tetapi semuanya ini aku lakukan semata-mata
demi kemaslahatan umat kakekku Muhammad saww. Aku bermaksud melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar, dan mengikuti jalan yang telah dirintis oleh kakekku dan
juga ayahku Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah barangsiapa yang menerimaku dengan
haq, maka Allah lebih berhak atas yang haq. Dan barang siapa yang menentang apa
yang telah kuputuskan ini, maka aku akan tetap bersabar hingga Allah memutuskan
antara aku dengan mereka tentang yang haq dan Dia adalah sebaik-baik pemberi
keputusan."
Setelah melakukan perjalanan
panjang, akhirnya rombongan Imam Husein sampai di kota Makkah, yaitu suatu kota
yang dilindungi Allah SWT yang dalam Islam merupakan tempat yang di dalamnya
perlindungan dan keamanan dijamin. Peristiwa ini terjadi di akhir bulan Rajab
60 Hijriah.
Selama empat bulan di Makkah
Imam banyak berdakwah dan membangkitkan semangat Islam dari penduduk Makkah.
Dan ketika tiba musim haji,
Imam segera melaksanakan ibadah haji dan berkhutbah di depan khalayak ramai
dengan khutbah singkat yang mengatakan bahwa beliau akan ke lraq menuju kota
Kufah.
Selain karena keamanan Imam
Husein sudah terancam, ribuan surat yang datangnya dari penduduk kota Kufah
juga menjadi pendorong keberangkatan Imam Husein ke kota itu. Dan sehari
setelah khutbahnya itu, Imam Husein berangkat bersama keluarga dan para
pengikutnya yang setia, guna memenuhi panggilan tersebut.
Ketika dalam perjalanan,
ternyata keadaan kota Kufah telah berubah. Yazid mengirimkan lbnu Ziyad guna
mengantisipasi keadaan. Wakil Imam Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan
dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia segera dibunuhnya. Penduduk Kufah
pun berubah menjadi ketakutan, tak ubahnya laksana tikus yang melihat kucing.
(Abdul Karim AL-Gazwini, al-Wasaiq al-Rasmiah Li Tsaurah al-Husein Hal 36).
Sekitar tujuh puluh kilometer
dari Kufah di suatu tempat yang bernama "Karbala", Imam Husein
beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh)
laki-laki dan sisanya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga bani
Hasyim, baik anak-anak, saudara, keponakan dan saudara sepupu; telah dikepung
oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.
Musuh
yang tidak berperikemanusiaan itu, melarang Imam dan rombongannya untuk meminum
dari sungai Efrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya bisa berendam di
sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah dilarang
mengambil air walaupun seteguk.
Penderitaan demi penderitaan,
jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah
sedihnya peristiwa itu. Imam Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda
penghulu surga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus
menerima perlakuan keji dari manusia yang tidak mengenal batas budi.
Pada tanggal 10 (sepuluh)
Muharram 61 Hijriah, 680 Masehi), pasukan Imam Husein yang berjumlah 70 (tujuh
puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah
30.000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein
mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibantai. Tubuh mereka
dipisah-pisah dan diinjak-injak dengan kudanya. Hingga ketika tidak ada
seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali
al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu
hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah
telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih mungil
itu harus mengakhiri riwayatnya didekapan ayahnya, Al-Husein.
Kini tinggallah Al-Husein
seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi proyek Allah apapun boleh
terjadi, asal agama Allah bisa tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan
Al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah,
rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikecup dan digendong
Rasulullah saww kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr,
lelaki yang bertampang menakutkan, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah
kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu.
Setelah kepergian Imam Husein,
pasukan musuh menjarah barang-barang milik Imam dan pengikutnya yang telah
tiada. Kebiadaban mereka tidak cukup sampai di sini, mereka lalu menyerang
kemah wanita dan membakarnya serta mempermalukan wanita keluarga Rasulullah.
Rombongan yang hanya terdiri dan kaum wanita itu, kemudian dijadikan sebagai
tawanan perang yang dipertontonkan dan satu kota ke kota lain.
Rasulullah yang mendirikan
negara Islam dan membebaskan mereka dari kebodohan. Namun keluarga Umayah yang
tidak tahu membalas budi telah memperlakukan keluarga Rasulullah semena-mena.
Beginikah cara umatmu membalas kebaikanmu wahai Rasulullah saww? Benarlah sabda
Rasulullah yang berbunyi: "Wahai Asma! Dia (al-Husein) kelak akan dibunuh
oleh sekelompok pembangkang sesudahku, yang syafaatku tidak akan sampai kepada
mereka."
Pembicaraan tentang Imam Husain
adalah pembicaraan yang dipenuhi dengan keheroikan dan pengorbanan
Sejarah Imam 2/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01
Jul 2003 - 12:37 am
Imam Hasan Al-Mujtaba as (2)
Nama :
Hasan Gelar : al-Mujtaba Julukan : Abu Muhammad Ayah : Ali bin Abi Thalib Ibu :
Fathimah az-Zahra Tempat/Tgl Lahir : Madinah, Selasa 15 Ramadhan 2 H. Hari/Tgl
Wafat : Kamis, 7 Shafar Tahun 49 H. Umur : 47 Tahun Sebab Kematian : Diracun
Istrinya, Ja'dah binti As-Ath Makam : Baqi' Madinah Jumlah Anak : 15 orang; 8
laki-laki dan 7 perempuan Anak Laki-laki : Zaid, Hasan, Umar, Qosim, Abdullah,
Abdurrahman, Husein, Thalhah Anak Perempuan : Ummu al-Hasan, Ummu al-Husein,
Fathimah, Ummu Abdullah, Fathimah, Ummu Salamah, Ruqoiyah
Riwayat Hidup
"..Maka katakanlah (hai
Muhammad): mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian..
."(Surah Al-lmran 61)
"Sesungguhnya Allah SWT
menjadikan keturunan bagi setiap nabi dan dari tulang sulbinya masing-masing,
tetapi Allah menjadikan keturunanku dan tulang sulbi Ali bin Abi Thalib".
(Kitab Ahlul Bait hal. 273-274)
"Semua anak Adam bernasab
kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak-anak Fathimah. Akulah ayah
mereka dan akulah yang menurunkan mereka."(Tafsir Al Manar, dalam
menafsirkan Surah al-An’am ayat 84)
Satu ayat di atas serta dua
hadis di bawahnya menunjukkan bahwa Hasan dan Husein adalah kecintaan Rasul
yang nasabnya disambungkan pada dirinya. Hadis yang berbunyi: "Tapi Allah
menjadikan keturunanku dari tulang sulbi Ali Bin Abi Thalib", menunjukkan
bahwa Rasulullah yang tidak berbicara karena kemauan hawa nafsu kecuali wahyu
semata-mata, ingin mengatakan bahwa Hasan dan Husein adalah anaknya beliau
saww. Begitu juga hadis kedua, beliau mengungkapkan bahwa anak Fathimah
bernasab kepada dirinya saww. Pernyataan tersebut dipertegas oleh ayat yang di
atas, dimana Allah sendiri menyebut mereka dengan istitah ‘anak-anaknya’ yakni
putra-putra Muhammad Rasululullah saww.
Nabi juga sering bersabda:
"Hasan dan Husein adalah anak-anakku". Atas dasar ucapan nabi inilah,
Ali bin Abi Thalib berkata kepada anak-anaknya yang lain: "Kalian adalah
anak-anakku sedangkan Hasan dan Husein adalah anak-anak Nabi". Karena
itulah ketika Rasulullah saww masib hidup mereka berdua memanggil nabi saww
"ayah". Sedang kepada Imam Ali a.s. Husein memanggilnya Abu Al Hasan,
sedang Hasan memanggil sebagai Abu al-Husein. Ketika Rasulullah saww berpulang
kerahmat Allah, barulah mereka berdua memanggil hadrat Ali dengan
"ayah".
Beginilah kedekatan nasab
mereka berdua kepada Rasululullah saww. Sejak hari lahirnya hingga berumur
tujuh tahun Hasan mendapat kasih sayang serta naungan dan didikan langsung dari
Rasululullah saww, sehingga beliau dikenal sebagai seorang yang ramah, cerdas,
murah hati, pemberani, serta berpengetahuan luas tentang seluruh kandungan
setiap wahyu yang diturunkan saat nabi akan menyingkapnya kepada para
sahabatnya.
Dalam kesalehannya, beliau
dikenal sebagai orang yang saleh, bersujud dan sangat khusyuk dalam shalatnya.
Ketika berwudhu beliau gemetar dan di saat shalat pipinya basah oleh air mata
sedang wajahnya pucat karena takut kepada Allah SWT. Dalam belas dan kasih
sayangnya, beliau
dikenal sebagai orang yang tidak segan untuk dengan pengemis dan para
gelandangan yang bertanya tentang masalah agama kepadanya.
Dari sifat-sifat yang mulia inilah
beliau tumbuh menjadi seorang dewasa yang tampan, bijaksana dan berwibawa.
Setelah kepergian Rasulullah saww beliau langsung berada di bawah naungan dan
didikan ayahnya Ali bin Abi Thalib a.s. Hampir tiga puluh tahun, beliau
bernaung di bawah didikan ayahnya, hingga akhirnya pada tahun 40 Hijriyah.
Ketika ayahnya terbunuh dengan pedang beracun yang dipukulkan Abdurrahman bin
Muljam, Hasan mulai menjabat keimamahan yang ditunjuk oleh Allah SWT.
Selama masa kepemimpinannya,
beliau dihadapkan kepada orang yang sangat memusuhinya dan memusuhi ayahnya,
Muawiyah bin Abi Sofyan dari bani Umayyah. Muawiyah bin Abi Sofyan yang sangat
herambisi kepada kekuasaan selalu merongrong dan menyerang Imam Hasan a.s.
dengan kekuatan pasukannya. Sementara dengan kelicikannya dia menjanjikan
hadiah-hadiah yang menarik bagi jenderal dan pengikut Imam Hasan yang mau
menjadi pengikutnya.
Karena banyaknya pengkhianatan
yang dilakukan pengikut Imam Hasan a.s. yang merupakan akibat bujukan Muawiyah,
akhirnya Imam Hasan menerima tawaran darinya. Perdamaian bersyarat itu
dimaksudkan agar tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih banyak di kalangan
kaum muslimin.
Namun, Muawiyah mengingkari seluruh isi perjanjian itu.
Kejahatannya pun semakin merajalela, khususnya kepada keluarga Rasulullah saww
dan orang yang mencintai mereka akan selalu ditekan dengan kekerasan dan
diperlakukan dengan tidak senonoh.
Dan pada tahun 50 Hijriah,
beliau dikhianati oleh isterinya, Ja'dah putri Ash'ad, yang menaruh racun
diminuman Imam Hasan. Menurut sejarah, Muawiyah adalah dalang dari usaha
pembunuhan anak kesayangan Rasulullah saww ini.
Akhirnya manusia agung, pribadi
mulia yang sangat dicintai oleh Rasulullah kini telah berpulang ke rahmatullah.
Pemakamannya dihadiri oleh Imam Husein a.s. dan para anggota keluarga Bani
Hasyim. Karena adanya beberapa pihak yang tidak setuju jika Imam Hasan
dikuburkan didekat maqam Rasulullah dan ketidaksetujuannya itu dibuktikan
dengan adanya hujan panah ke keranda jenazah Imam Hasan a.s. Akhirnya untuk
kesekian kalinya keluarga Rasulullah yang teraniaya terpaksa harus bersabar.
Mereka kemudian menglihkan pemakaman Imam Hasan a.s. ke Jannatul Baqi' di
Madinah. Pada tanggal 8 Syawal 1344 H (21 April 1926) kemudian, pekuburan Baqi'
diratakan dengan tanah oleh pemerintah yang berkuasa di Hijaz.
Imam Hasan telah tiada,
pemakamannya pun digusur namun perjuangan serta pengorbanannya yang diberikan
kepada Islam akan tetap terkenang di hati sanubari setiap insan yang mengaku
dirinya sebagai pengikut dan pencinta Muhammad saww serta Ahlul Baitnya.
Sejarah Imam 1/12
Cinta Rasul Oleh : Redaksi 01
Jul 2003 - 12:37 am
Imam Ali bin Abi Thalib as (1)
Nama : Ali bin Abi Thalib as Gelar : Amirul Mukminin Julukan : Abu AL-Hasan,
Abu Turab Ayah : Abu Thalib (Paman Rasululullah saww) Ibu : Fatirnah binti Asad
Tempat/Tgl Lahir : Mekkah, Jum'at 13 Rajab Hari/Tgl Wafat : Malam Jum' at, 21
Ramadhan 40 H. Umur : 63 Tahun Sebab Kematian : Ditikam oleh Abdurrahman ibnu
Muljam
Makam
: Najaf Al-Syarif Jumlah Anak : 36 Orang, 18 laki-laki dan 18 perempuan
Anak laki-laki : 1. Hasan
Mujtaba, 2. Husein, 3. Muhammad Hanafiah, 4. Abbas al-Akbar, yang dijuluki Abu
Fadl, 5. Abdullah al-Akbar, 6. Ja’far al-Akbar, 7. Utsman al- Akbar, 8.
Muhammad al-Ashghar, 9. Abdullah al-Ashghar, 10. Abdullah, yang dijuluki Abu
Ali, 11. ‘Aun, 12. Yahya, 13. Muhammad al Ausath, 14. Utsman al Ashghar
15.Abbas al-Ashghar, 16. Ja’far al-Ashghar, 17. Umar al-Ashghar, 18. Umar
al-Akbar
Anak Perempuan : 1. Zainab
al-Kubra, 2. Zainab al-Sughra, 3.Ummu al-Hasan, 4. Ramlah al-Kubra, 4. Ramlah
al-Sughra, 5. Ummu al-Hasan, 6. Nafisah, 7. Ruqoiyah al-Sughra, 8. Ruqoiyah
al-Kubra, 9. Maimunah, 10. Zainab al-Sughra, 11. Ummu Hani, 12. Fathimah
al-Sughra, 13.Umamah, 14.Khodijah al-Sughra, 15 Ummu Kaltsum, 16. Ummu Salamah,
17. Hamamah, 18. Ummu Kiram
Riwayat Hidup
Imam Ali bin Abi Thalib a.s.
adalah sepupu Rasulullah saww. Dikisahkan bahwa pada saat ibunya. Fatimah hinti
Asad, dalam keadaan hamil, beliau masih ikut bertawaf disekitar Ka'bah. Karena
keletihan yang dialaminya lalu si ibu tadi duduk di depan pintu Ka'bah seraya
memohon kepada Tuhannya agar memberinya kekuatan. Tiba-tiba tembok Ka'bah
tersebut bergetar dan terbukalah dindingnya. Seketika itu pula Fatimah bind
Asad masuk ke dalamnya dan terlahirlah di sana seorang bayi mungil yang kelak
kemudian menjadi manusia besar, Imam Alibin Abi Thalib.a.s.
Pembicaraan tentang Imam Ali
bin Abi Thalib tidak dapat dipisahkan dengan Rasulullah saww. Sebab sejak kecil
beliau telah berada dalam didikan Rasulullah saww, sebagaimana dikatakannya
sendiri: "Nabi membesarkan aku dengan suapannya sendiri. Aku menyertai
beliau kemanapun beliau pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap
hari aku dapatkan suatu hal baru dari karakternya yang mulia dan aku menerima
serta mengikutinya sebagai suatu perintah".
Setelah Rasulullah saww
mengumurnkan tentang kenabiannya, beliau menerima dan mengimaninya dan termasuk
orang yang masuk islam pertama kali dari kaum laki-laki. Apapun yang dikerjakan
dan diajarkan Rasulullah kepadanya, selalu diamalkan dan ditirunya. Sehingga
beliau tidak pernah terkotori oleh kesyirikan atau tercemari oleh karakter,
hina dan jahat dan tidak tenodai oleh kemaksiatan. Kepribadian beliau telah
menyatu dengan Rasululullah saww, baik dalam karakternya, pengetahuannya, pengorbanan
diri, kesabaran, keberanian, kebaikan, kemurahan hati, kefasihan dalam
berbicara dan berpidato.
Sejak masa kecilnya beliau
telah menolong Rasulullah saww dan terpaksa harus menggunakan kepalan tangannya
dalam mengusir anak-anak kecil serta para gelandangan yang diperintah kaum
kafir Qurays untuk mengganggu dan melempari batu kepada diri Rasulullah saww.
Keberaniannya tidak
tertandingi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saww: "Tiada
pemuda sehebat Ali". Dalam bidang keilmuan, Rasul menamakannya sebagai
pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiaannya, maka
simaklah sabda Rasulullah saww: "Jika kalian ingin tahu ilmunya Adam,
kesalehan Nuh, kesetiaan lbrahim, keterpesonaan Musa, pelayanan dan kepantangan
Isa, maka lihatlah kecemerlangan wajah Ali". Beliau merupakan orang yang
paling dekat hubungan kefamiliannya dengan Nabi saww sebab, beliau bukan hanya
sepupu nabi, tapi sekaligus sebagai anak asuhnya dan suami dari putrinya serta
sebagai penerus kepemimpinan sepeninggalnya saww.
Sejarah
juga telah menjadi saksi nyata atas keberaniannya. Di setiap peperangan, beliau
selalu saja menjadi orang yang terkemuka. Di perang Badar, hampir separuh dan
jumlah musuh yang mati, tewas di ujung pedang Imam Ali a.s. Di perang Uhud,
yang mana musuh Islam lagi-lagi dipimpin oleh Abu Sofyan dan keluarga Umayyah
yang sangat memusuhi Nabi saww, Imam Ali a.s kembali memerankan peran yang
sangat penting yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat
Rasulullah agar tidak turun dari atas gunung, namun mereka tetap turun sehingga
orang kafir Qurays mengambil posisi mereka, lmam Alibin Abi Thalib a.s. segera
datang untuk menyelamatkan diri nabi dan sekaligus menghalau serangan itu.
Perang Khandak juga menjadi
saksi nyata keberanian Imam Ali bin Abi Thalib a.s. ketika memerangi Amar bin
Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi
Wud terbelah menjadi dua bagian. Demikian pula halnya dengan perang Khaibar, di
saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saww ber-sabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan
melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan
kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah
dan Rasul-Nya". Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan
kemuliaan tersebut. Namun, temyata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. yang mendapat
kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh
seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya hingga
terbelah menjadi dua bagian.
Begitulah kegagahan yang
ditampakkan oleh Imam Ali dalam menghadapi musuh islam serta dalam membela
Allah dan Rasul-Nya. Tidak syak lagi bahwa seluruh kebidupan Imam Ali bin Abi
Thalib a.s. dipersembahkan untuk Rasul demi keberhasilan proyek Allah.
Kecintaan yang mendalam kepada Rasulullah benar-benar terbukti lewat
perjuangannya. Penderitaan dan kesedihan dalam medan perjuangan mewarnai
kehidupannya. Namun, penderitaan dan kesedihan yang paling dirasakan adalah
saat ditinggalkan Rasulullah saww. Tidak cukup itu, 75 hari kemudian istrinya,
Fatimah Zahra, juga meninggal dunia.
Kepergian Rasululullah saww
telah membawa angin lain dalam kehidupan Imam Ali a.s. Terjadinya perternuan
Saqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama, baru didengarnya setelah
pulang dari kuburan Rasulullah saww. Sebab, pemilihan khalifah itu menurut
sejarah memang terjadi saat Rasulullah belum di makamkan. Pada tahun ke-13 H,
khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah
ke-2, Umar bin Khaththab sebagai penggantinya.
Sepuluh tahun lamanya khalifah
ke-2 meimpin dan pada tahun ke-23 H, beliau juga wafat. Namun, sebelum
wafatnya, khalifah pertama telah menunjuk 6 orang calon pengganti dan Imam Ali
a.s. termasuk salah seorang dari mereka. Kemudian terpilihlah khalifah Utsman
bin Affan. Sedang Imam Ali bin Abi Thahb a.s. tidak terpilih karena menolak
syarat yang diajukan Abdurrahman bin Auf yaitu agar mengikuti apa yang diperbuat
khalifah pertama dan kedua dan mengatakan akan mengikuti apa yang sesuai dengan
perintah Allah dan Rasul-Nya.
Pada tahun 35 H, khalifah
Utsman terbunuh dan kaum muslimin secara aklamasi memilih serta menunjuk Imam
Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasululullah saww dan sejak itu beliau
memimpin negara Islam tersebut. Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun
9 bulan, Ali mengikuti cara Nabi dan mulai menyusun sistim yang islami dengan
membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan.
Dalam merealisasikan usahanya,
beliau mengbadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab, tidak dapat
dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dicanangkannya dapat merongrong dan
menghancurkan keuntungan-keuntungan pribadi dan beberapa kelompok yang merasa
dirugikan. Akhirnya, terjadilah perang Jamal dekat Bashrah antara beliau dengan
Talhah dan Zubair yang didukung oleh Mua'wiyah, yang mana di dalamnya Aisyah
"Ummul Mukminin" ikut keluar untuk memerangi Imam Ali bin Abi Thalib
a.s. Peperangan pun tak dapat dihindari, dan akhirnya pasukan Imam Ali a.s
berhasil memenangkan peperangan itu sementara Aisyah "Ummul
Mu'rninin" dipulangkan secara terhormat kerumahnya.
Kemudian
terjadi "perang Siffin" yaitu peperangan antara beliau a.s. melawan
kelompok Mu'awiyah, sebagai kelompok oposisi untuk kepentingan pribadi yang
merongrong negara yang syah. Peperangan itu terjadi di perbatasan Iraq dan
Syiria dan berlangsung selama setengah tahun. Beliau juga memerangi Khawarij
(orang yang keluar dan lingkup Islam) di Nahrawan, yang dikenal dengan nama
"perang Nahrawan". Oleh karena itu, hampir sebagian besar hari-hari
pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib a.s digunakan untuk peperangan interen
melawan pihak- pihak oposisi yang sangat merongrong dan merugikan keabsahan
negara Islam.
Akhirnya, menjelang subuh, 19
Ramadhan 40 H, ketika sedang salat di masjid Kufah, kepala beliau ditebas
dengan pedang beracun oleh Abdurrahman bin Muljam. Menjelang wafatnya, pria
sejati ini masih sempat memberi makan kepada pembunuhnya. Singa Allah, yang
dilahirkan di rumah Allah "Ka'bah" dan dibunuh di rumah Allah
"Mesjid Kufah", yang mempunyai hati paling berani, yang selalu berada
dalam didikan Rasulullah saw sejak kecilnya serta selalu berjalan dalam
ketaatan pada Allah hingga hari wafatnya, kini telah mengakhiri kehidupan dan
pengabdiannya untuk Islam.
Beliau
memang telah tiada namun itu tidak berarti seruannya telah berakhir, Allah
berfirman: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur
di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup
tetapi kamu tidak menyadarinya. " (Q.S. : 2 : 154)
Gerakan
Syiah: Sejarah dan Perkembangannya
Selama ini, mayoritas orang selalu
menganggap Syiah bagian dari Islam. Mayoritas kaum muslimin di seluruh dunia
sendiri menilai bahwa menentukan sikap terhadap Syi’ah adalah sesuatu yang
sulit dan membingungkan. Ini disebabkan beberapa hal mendasar yaitu kurangnya
informasi tentang Syi’ah. Syi’ah, di kalangan mayoritas kaum muslimin adalah
eksistensi yang tidak jelas, tidak diketahui apa hakikatnya, bagaimana
berkembang, tidak melihat bagaimana sejarahnya, dan tidak dapat diprediksi
bagaimana di kemudian hari. Berangkat dari hal-hal tersebut, akhirnya orang
Islam yang umum meyakini Syi’ah tak lain hanyalah salah satu mazhab Islam, seperti
mazhab Syafi’i, Maliki dan sejenisnya.
Tapi sesungguhnya ada perbedaan
antara Syiah dan Islam. Bisa dikatakan, Islam dengan Syiah serupa tapi tak
sama. Secara fisik, sulit sekali membedakan antara penganut Islam dengan Syiah,
namun jika diteliti lebih jauh dan lebih mendalam lagi—terutama dari segi
aqidah—perbedaan di antara Islam dan Syiah sangatlah besar. Ibaratnya, Islam
dan Syiah seperti minyak dan air, hingga tak mungkin bisa disatukan.
Asal-usul Syi’ah
Syi’ah secara etimologi bahasa
berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi
syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin
Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari
seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum
muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal
Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah
adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang
dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi Saba’ mengenalkan
ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan
bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke
tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah
bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan
tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap
ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak
menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala
dosa).
Keyakinan itu berkembang
terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib.
Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin
Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke
Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah,
aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua
Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream
tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan
yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh
pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini
yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
Perkembangan Syiah
Bertahun-tahun lamanya gerakan Syiah
hanya berputar di Iran, rumah dan kiblat utama Syiah. Namun sejak tahun 1979,
persis ketika revolusi Iran meletus dan negeri ini dipimpin oleh Ayatullah
Khomeini dengan cara menumbangkan rejim Syah Reza Pahlevi, Syiah merembes ke
berbagai penjuru dunia. Kelompok-kelompok yang mengarah kepada gerakan Syi’ah
seperti yang terjadi di Iran, marak dan muncul di mana-mana.
Perkembangan Syi’ah, yaitu gerakan
yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait ini memang cukup pesat, terlebih di
kalangan masyarakat yang umumnya adalah awam dalam soal keagamaan, menjadi
lahan empuk bagi gerakan-gerakan aliran sempalan untuk menggaet mereka menjadi
sebuah komunitas, kelompok dan jama’ahnya.
Doktrin Taqiyah
Untuk menghalangi perkembangan
Syi’ah sangatlah sulit. Hal itu dikarenakan Syi’ah membuat doktrin dan ajaran
yang disebut “taqiya.” Apa itu taqiyah? Taqiyah adalah konsep Syiah dimana
mereka diperbolehkan memutarbalikkan fakta (berbohong) untuk menutupi
kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Konsep taqiya ini
diambil dari riwayat Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq a.s., beliau berkata: “Taqiyah
adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Seseorang tidak dianggap beragama bila
tidak bertaqiyah.” (Al-Kaafi, jus II, h. 219).
Jadi sudah jelas bahwa Syi’ah
mewajibkan konsep taqiyah kepada pengikutnya. Seorang Syi’ah wajib bertaqiyah
di depan siapa saja, baik orang mukmin yang bukan alirannya maupun orang kafir
atau ketika kalah beradu argumentasi, terancam keselamatannya serta di saat
dalam kondisi minoritas. Dalam keadaan minoritas dan terpojok, para tokoh
Syi’ah memerintahkan untuk meningkatkan taqiyah kepada pengikutnya agar menyatu
dengan kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, berangkat Jum’at di masjidnya dan
tidak menampakkan permusuhan. Inilah kecanggihan dan kemujaraban konsep
taqiyah, sehingga sangat sulit untuk melacak apalagi membendung gerakan mereka.
Padahal, arti taqiyah menurut
pemahaman para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasar pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, taqiyah tidaklah wajib hukumnya, melainkan mubah, itupun dalam
kondisi ketika menghadapi kaum musrikin demi menjaga keselamatan jiwanya dari
siksaan yang akan menimpanya, atau dipaksa untuk kafir dan taqiyah ini
merupakan pilihan terakhir karena tidak ada jalan lain.
Doktrin taqiyah dalam ajaran Syi’ah
merupakan strategi yang sangat hebat untuk mengembangkan pahamnya, serta untuk
menghadapi kalangan Ahli Sunnah, hingga sangat sukar untuk diketahui gerakan
mereka dan kesesatannya.
Kesesatan-kesesatan Syiah
Di kalangan Syiah, terkenal klaim 12
Imam atau sering pula disebut “Ahlul Bait” Rasulullah Muhammad saw; penganutnya
mendakwa hanya dirinya atau golongannya yang mencintai dan mengikuti Ahlul
Bait. Klaim ini tentu saja ampuh dalam mengelabui kaum Ahli Sunnah, yang dalam
ajaran agamanya, diperintahkan untuk mencintai dan menjungjung tinggi Ahlul
Bait. Padahal para imam Ahlul Bait berlepas diri dari tuduhan dan anggapan
mereka. Tokoh-tokoh Ahlul Bait (Alawiyyin) bahkan sangat gigih dalam memerangi
faham Syi’ah, seperti mantan Mufti Kerajaan Johor Bahru, Sayyid Alwi bin Thahir
Al-Haddad, dalam bukunya “Uqud Al-Almas.”
Adapun beberapa kesesatan Syiah yang
telah nyata adalah:
- Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
- Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
- Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
- Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib sendiri karena keyakinan tersebut.
- Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
- Keyakinan mencaci maki para sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
- Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.
PEMIKIRAN DARI PENUTURAN DI ATAS:
Saat ini figur-figur Syiah begitu
terkenal dan banyak dikagumi oleh generasi muda Islam, karena
pemikiran-pemikiran yang lebih banyak mengutamakan kajian logika dan filsafat.
Namun, semua jamaah Sunnah wal Jamaah di seluruh dunia, sudah bersepakat adanya
bahwa Syiah adalah salah satu gerakan sesat. (sa/berbagaisumber)
Keberadaan seorang Imam sangat
penting dalam menjaga kelestarian syariat serta kelangsungan peradaban sejarah.
Mereka haruslah orang yang paling utama dalam
bidang
keilmuan, pemikiran dan politik, karena mereka adalah pemimpin bagi umat yang
akan membimbing dan menyelesaikan segala permasalahan. Adanya keimamahan ini
tidak lain merupakan kasih sayang ilahi terhadap umat manusia.
Hukum-hukum
Allah tidak diberlakukan, sunnah-sunnah Rasululullah ditinggalkan dan Islam
yang tersebar bukan lagi Islamnya Muhammad saww, melainkan Islamnya Muawiyah
serta Yazid yang identik dengan kerusakan dan kedurjanaan
Al-Rasyid
merasa yakin akan loyalitasnya terhadap istana Abbasiyah dan kesanggupannya
untuk melaksanakan perintah, maka al-Rasyid menyuruh seseorang khadam
(pembantu) mengambilkan sebilah pedang, lalu menyuruh Humaid pergi ke sebuah
rumah yang terkunci yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah sumur. Di rumah
itu terdapat tiga kamar yang seluruhnya terkunci. Ketika khadam tersebut
mengantarkannya masuk ke rumah itu, dia membuka salah satu pintu kamar yang
terkunci itu dan ternyata di dalamnya terdapat dua puluh orang alawiyin dan
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saww. Mereka terdiri
dari anak-anak remaja dan orang-orang tua dengan kaki dan tangan terikat
rantai. Sang khadam menyuruh Humaid untuk membunuh orang-orang itu dan
memasukkan jasad mereka ke dalam sumur.
Yazid mengirimkan lbnu Ziyad
guna mengantisipasi keadaan. Wakil Imam Husein (Muslim bin Aqil), diseret dan
dipenggal kepalanya. Orang-orang yang setia segera dibunuhnya. Penduduk Kufah
pun berubah menjadi ketakutan, tak ubahnya laksana tikus yang melihat kucing.
(Abdul Karim AL-Gazwini, al-Wasaiq al-Rasmiah Li Tsaurah al-Husein Hal 36).
Sekitar tujuh puluh kilometer
dari Kufah di suatu tempat yang bernama "Karbala", Imam Husein
beserta rombongan yang berjumlah 70 (tujuh puluh) orang; 40 (empat puluh)
laki-laki dan sisanya kaum wanita; dan itu pun terdiri dari keluarga bani
Hasyim, baik anak-anak, saudara, keponakan dan saudara sepupu; telah dikepung
oleh pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah 30 (tiga puluh) ribu orang.
Musuh
yang tidak berperikemanusiaan itu, melarang Imam dan rombongannya untuk meminum
dari sungai Efrat. Padahal, anjing, babi dan binatang lainnya bisa berendam di
sungai itu sepuas-puasnya, sementara keluarga suci Rasulullah dilarang
mengambil air walaupun seteguk.
Penderitaan demi penderitaan,
jeritan demi jeritan, pekikan suci dari anak-anak yang tak berdosa menambah
sedihnya peristiwa itu. Imam Husein yang digambarkan oleh Rasul sebagai pemuda
penghulu surga, yang digambarkan sebagai Imam di saat duduk dan berdiri, harus
menerima perlakuan keji dari manusia yang tidak mengenal batas budi.
Pada tanggal 10 (sepuluh)
Muharram 61 Hijriah, 680 Masehi), pasukan Imam Husein yang berjumlah 70 (tujuh
puluh) orang telah berhadapan dengan pasukan bersenjata lengkap yang berjumlah
30.000 (tiga puluh ribu) orang. Seorang demi seorang dari pengikut al-Husein
mati terbunuh. Tak luput keluarganya juga mati dibantai. Tubuh mereka
dipisah-pisah dan diinjak-injak dengan kudanya. Hingga ketika tidak ada
seorangpun yang akan membelanya beliau mengangkat anaknya yang bernama Ali
al-Asghar, seorang bayi yang masih menyusu sambil menanyakan apa dosa bayi itu
hingga harus dibiarkan kehausan. Belum lagi terjawab pertanyaannya sebuah panah
telah menancap di dada bayi tersebut dan ketika itu pula bayi yang masih mungil
itu harus mengakhiri riwayatnya didekapan ayahnya, Al-Husein.
Kini tinggallah Al-Husein
seorang diri, membela misi suci seorang nabi, demi proyek Allah apapun boleh
terjadi, asal agama Allah bisa tegak berdiri, badan pun boleh mati. Perjuangan
Al-Husein telah mencapai puncaknya, tubuhnya yang suci telah dilumuri darah,
rasa haus pun telah mencekiknya. Tubuh yang pernah dikecup dan digendong
Rasulullah saww kini telah rebah di atas padang Karbala. Lalu datanglah Syimr,
lelaki yang bertampang menakutkan, menaiki dada al-Husein lalu memisahkah
kepala beliau serta melepas anggota tubuhnya satu demi satu.
Masa kegelapan menjadi cahaya masa depan dengan mensikapi diri sendiri agar lebih berarti buat orang banyak dengan tanpa membeda-bedakan Kepercayaan, Ras, Latar belakang dan keadaan dll... Kekotoran harus dibersihkan...
NENDEN SALWA
NENDEN SALWA